Mohon tunggu...
Masfibri Santosa
Masfibri Santosa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Makam Ronggo Prawirodirjo III (Background Profil). PLTA Ngebel, Ponorogo (Photo Cover).

Sedang belajar tentang arti pengabdian (sebagai marbot masjid), setelah pernah gagal berkali-kali dalam berwirausaha. Dan saat ini sudah kembali ke kampung halaman di Ponorogo.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rendezvous yang Tak Direncanakan

15 Juni 2020   07:30 Diperbarui: 20 Juni 2020   20:35 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senin, 2 Juli 2018.

 Aku telah menyingkirkan jauh-jauh faktor gengsi. Lima hari dalam sepekan kuketuk pintu ke pintu menyodorkan proposal ke tuan rumah. Barangkali ada yang mau donasi ke tempatku bekerja. Seperti biasa tugasku menjemput donasi ke kawasan Kali Barat Kota. 

Namun hari ini kumengegas Honda Supra X menuju Magetan. Aku tergerak silaturahim, katanya bisa mengundang rezeki. Ini adalah rendezvous[1] yang tak direncanakan. Sebut saja melipir dari kerja secara elegan. Bukan bolos kerja, bukan. Sialnya, aku lupa rute rumah kawan lamaku sedang nomornya tidak aktif kuhubungi. Tanpa sadar kutersesat. Entah setelah dari Pasar Parang ini, dimana letaknya alamat rumah temanku. Aku istirahat sejenak, di masjid lalu ke warung. Entah kenapa aku ke Magetan mungkin dorongan utamanya adalah perkataan teman yang juga tetangga.

“Sampeyan[2] tidak cari di dunia maya Mas? Aku pacaran lho dapat.”

“Cari pacar? Bukan prinsipku. Lebih baik cari jodoh di dunia nyata. Ia tahu benar aku kerja apa, aku pun tahu dia. Caranya seperti saban hari kupraktekkan, silaturahim.” Tukasku. 

Aku mencoba meyakinkannya, tapi nihil. Ia lebih mudah dengan dunia maya, prinsipnya dan prinsipku berbeda.


***

 “Enggeh mas, dipun rantos sekedhap nggeh?!”[3] Pinta ibu pemilik warung.

Sambil duduk menunggu pesananku jadi, aku hubungkan power bank ke android yang lagi kkritisbaterainya. Juga menyempatkan membaca pesan-pesan WhatsApp.

“Monggo mas, dipun sekecaaken.”[4]

Ibu pemilik warung ketika menaruh pesananku di atas meja. Mie rebus instan satu, kopi jahe satu.

Sambil menyendokkan mie untuk kuseruput dan sesekali mengecek WhatsApp, tiba-tiba ada miscall via telepon. Aku angkat.

“Wa’alaikumussalam, iya bang. Alhamdulillah kabarku baik, sehat-sehat saja, ini masih makan siang di warung.”

“Posisi ente[5] dimana ini, Bro tepatnya?” tanyanya yang menghubungiku, “Kalau sempat mampir kerumah,” lanjutnya. Pucuk dicinta, ulampun tiba.[6] Memang niat hati kesana (rumah teman di Ngawi, yang barusan menghubungiku), setelah hingga siang menjelang sore aku tak menemukan rumah teman yang di Magetan. 

“Ini ada di wilayah Pasar Parang, Bang.” Tukasku cepat.

“Ohh, begini saja Bro. Kamu coba terus saja kearah alun-alun Magetan, sampai sana lihat petunjuk arah ke stadion lalu ke arah Kendal. Nah, setelah Kendal teruslah ke Jogorogo, usahakan tunggu di sekitaran pasar, nang kunu ngku tak papak awakmu.”[7] Kata si teman dengan panjang-lebar menguraikan arah jalan kerumahnya.

“Okay, Bang. Habis ini coba tak langsung kesana,”ucapku paham.

“Sampun Buk, sedaya pinten”, seruku bertanya harga sambil bangkit dari kursi, 

berjalan kearah dapur warung untuk membayar pesananku tadi.

Sejurus kemudian aku mengegas Honda Supra X lagi. Dikarenakan aku tidak sengaja tersasar ke arah jurusan Tawangmangu dan baru tersadar setelah melihat ke samping jalan raya ada plang besar bertulisan “TAWANGMANGU’ disertai tanda panah. Sekitar waktu Maghrib aku baru sampai, langsung menuju musholla kecil di sebelah Mart, selatan Pertigaan Tugu Pasar Jogorogo. Segera setelah memarkir kendaraan aku menggabungkan diri dengan jamaah maghrib yang masih berlangsung. Selesai sholat yang aku lanjutkan menjama’ sholat Isya, aku bergegas keluar musholla sambil mengalungkan tas cangklong di depan dada dan menenteng tas punggung dengan tangan kanan. Jika terlalu malam, pertemuanku ini mengganggu teman.

 “Ini aku sudah di Pasar Jogorogo, tepatnya di depan Mart sebelah selatan Tugu Pasar”, kaatas di Hape. Aku duduk menunggu diatas jok Honda Supra X milikku.

Tidak berselang lama, deru motor teman lama berhenti di sampingku.

“Sudah lama rasanya ya, Kang Bri. Kita tidak saling bertatap muka. Ada kurang lebih enam tahun, mungkin?” celetuk temanku dengan masing-masing menyantap lalapan ayam bakar di warung lesehan tugu pasar. “Sejak terakhir kali kita bukber di asrama, Bang. Waktu ente main ke Jember, 2012 atau 2013 kan aku masih disana.” Sahutku kemudian.

“Iya, sepertinya di waktu-waktu itu.” Sahut si teman lama.

“Eh iya, bang. Punya rekomendasi musholla terdekat disekitar rumah ente?” Kataku kemudian.

"Oalah, ojok nemen-nemenlah bro, nek butuh panggon nginep nangumahku wae. Mari ngene tak jak nangumahku wis,”[8] Kata si teman lama disertai tawa pendek. 

“Terima kasih, bang. Maaf sudah merepotkan.” Kataku kemudian, sembari tersenyum.

Rapat rendezvous itu, apakah hari ini? Kusangka yang baik, tentang jodoh.

“Ayo cepat, dihabiskan makannya. Kali ini aku yang traktir.” Tukas si teman lama.

 Sejurus kemudian kami berdua sudah tiba di rumah si teman lama, yang berada di pedalaman daerah pedesaan di Kecamatan Jogorogo, Ngawi. Kami hanya sebentar dirumahnya, untuk sekedar memarkir motor dan kemudian seperti yang dijanjikannya aku 

diajak dengan dibonceng Astreanya ke Kantor Desa. Karena memang pekerjaannya sehari-hari sebagai perangkat desa disana.

“Nah, beginilah Bro suasana malam hari di kantor desa. Ramai warga berbagai usia 

terutama remaja karena Wifi gratis di Balai.” Kata temanku begitu kami sampai di halaman 

Kantor Desa. Setelah memarkir kendaraannya, dia mengajakku masuk ke dalam Kantor.

“Kalau malam di dalam kantor ya santai. Paling hanya koordinasi terbatas itupun informal sifatnya."

“Oh ya sini, hapemu”, katanya dan kutebak mengetikkan password Wifi, dan sebentar saja diangsurkannya hapeku kembali.

“Ini fotonya siapa?” Tanyaku terbelalak cantiknya ia di sosial media.

“Santai saja, ini dunia maya. Aku tahu prinsipmu sama denganku. Andalannya 

silaturahim agar jodoh tak serupa beli kucing dalam karung." Tukasnya berusaha meyakinkan.

Aku teliti lebih jauh. Tak ada foto lelaki disana, hanya anak-anak kecil. Bagiku inilah 

‘Ruangan Rapat’ rahasia di Kantor Desa, dengan temanku. Hingga tiba-tiba datang dua orang perangkat desa lainnya. “Mas Bri, tak tinggal koordinasi dulu ya?”

“Sampeyan nyantai saja dulu, streamingan atau nge-game silakan. Amati si cantik itu,” kata si teman lama menggoda.

“Aku usahakan,” jawabku.

 Sementara koordinasi antara si teman lama dan kedua perangkat desa lainnya sedang berlangsung, aku menyibukkan diri. Puas mengamati si cantik, kulanjut streaming youtube (tidak lupa memasang headset, agar tidak mendengar sepatah katapun pembicaraan mereka), sembari agak duduk menjauh.

“Ayo Bro, ente istirahat langsung, kebetulan sudah selesai ini koordinasinya,” kata si 

teman lama sambil menggamit pundakku.

“Okay Bang,” sahutku.

“Dari Reog City,[9] ya Mas?” Tanya seorang perangkat desa lainnya.

“Iya mas, ya main-main saja kerumahnya Bang Har,” jawabku.

“Maaf kang, tidak bisa lama-lama, soalnya butuh istirahat temanku,”pamitnya kepada rekan kerjanya.

“Sepedahan seharian dari Kota Reog ke Jogorogo,” terangnya.

“Oh ya, ini juga mau pamitan saya, ada keperluan juga,” “Eh mas, mas Bri ya 

namanya? Mampir kerumah, kalau ada waktu,” kata si perangkat desa.

“Insya Allah, Mas,” sahutku.

 Sepengegasan motor kemudian, aku yang dibonceng Astrea Bang Har sudah sampai dirumahnya. Hari yang melelahkan sekali memang, sebuah perjalanan dan juga pertemuan 

dengan teman lama yang sama-sekali tidak kurencanakan sebelumnya. Kataku dalam hati, sambil lamat-lamat berusaha memejamkan mata ketika berbaring diatas kasur, setelah memindahkan barang-barangku dari ruang tamu ke kamar ini.

***

Selasa, 3 Juli 2018

 Di ruang tamu rumah Bang Har, kami berdua ngobrol santai sambil menyantap 

sarapan yang sudah disiapkan oleh istri teman lamaku ini, sejak ba’da subuh tadi. “Ente lihat keadaanku sekarang, mungkin terlihat nyaman sebagai perangkat desa. Tapi proses dibaliknya penuh perjuangan, tidak mudah. Karena gaji rutin untuk perangkat desa pun baru ada sejak akhir pemerintahan Pak SBY sekitar 2014, sebelumnya hanya ada bengkok[10] sebagai pengganti gaji.".

“Bagaimanapun cepat atau lambat, kita akan menemukan hari yang cerah. Suatu saat nanti. Kita tinggal menunggunya, seperti mentari pagi ini. Ia akan terbit sesuai waktu yang ditentukan Tuhan,” kata-kata Bang Har mendadak puitis pagi itu. "Begitu pula jodoh. Si cantik sosial media itu."

“Semoga saja, Bang. Termasuk soal jodoh, semoga segera terbit mentari pagi yang cerah di kehidupanku nanti”, tukasku segera, “Oh ya, Bang Har terima kasih atas segala jamuannya.” “Buk Har, saya pamit dulu. Insya Allah lain waktu bisa kesini lagi, dengan membawa istri.”

“Aamiin ya rabb, semoga terkabul hajatnya, Mas Bri.” Sahut istri temanku, dengan seorang anak lelaki usia 7-8 tahunan di dekatnya yang terlihat agak malu-malu.

Akupun segera mengegas motorku setelah berpamitan dengan Bang Har sekeluarga.

 Mentari pagi ini begitu cerah di Jogorogo, Ngawi. Perlahan namun pasti, motorku melaju menuju Reog City. Rendezvous yang singkat namun berkesan baru saja kulalui. Tinggal kuperjuangkan si cantik itu.

Hari kedua Minggu ini kuketuk pintu ke pintu menyodorkan proposal ke tuan rumah. Barangkali ada yang mau donasi ke tempatku bekerja. Seperti biasa tugasku menjemput donasi ke kawasan Kali Barat Kota. Namun di hari itu kumengegas Honda Supra X menuju Magetan. Aku tergerak silaturahim, katanya bisa mengundang rezeki. Dan sebuah rendezvous yang tak direncanakan, seolah menjadi kunci awal pembuka rezeki di kehidupanku.

1. Pertemuan untuk suatu keperluan yang sifatnya rahasia; misal: rapat, reuni, dll.

2. Kamu, Bhs. Jawa.

3. “Iya mas, di tunggu sebentar ya?”

4. “Silakan mas, dinikmati.".                                                                                                                                           5. Pengembangan dari kosakata Bhs. Arab, ‘anta’/’antum,’ menjadi ‘ente’ dalam bahasa pergaulan sehari-hari di sebagian kalangan di Indonesia.

6. Peribahasa melayu klasik, yang berarti; apa yang diharapkan akhirnya terwujud. 

7. “Di situ nanti tak jemput kamu.”                                                                                                                           8. “Oalah, jangan kebangetanlah bro, kalo butuh tempat menginap dirumahku saja. Habis ini tak ajak kerumahku sudah.”                                 9. Nama lain dari Kota Ponorogo, sebuah Kota Kabupaten di Jawa Timur.                                         10. Semacam apanage (Tanah pinjaman dari Raja kepada Bangsawan di era feudal), masih berlaku di sebagian wilayah di P. Jawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun