Catatan Hari ke-4 oleh Pak Dhe
Pagi di Kota Tenggara selalu dimulai dengan harapan-meski seringnya harapan itu menguap bersama uap kopi di udara.
Katanya, "Air adalah sumber kehidupan."
Tapi di sini, air bersih malah jadi sumber keresahan.
Sebelum matahari benar-benar naik, warga sudah berkeliling, nyetel keran satu per satu.
Harapannya cuma satu: air mengalir deras, seperti doa yang tak pernah putus.
Tapi yang keluar? Kadang cuma suara angin yang berdesir lewat pipa tua.
"Ini air atau angin segar, Pak Dhe?" celetuk Ibu Wati sambil mengaduk kopi di warung depan rumah.
Aku cuma tersenyum. "Lebih dramatis dari sinetron, Bu."
Masalah air ini bukan cuma soal yang di atas tanah, tapi juga yang di bawahnya.
Pipa-pipa lama diperbaiki, digali, tapi kapan selesai? Entahlah.
Bekas galian jadi luka di sepanjang jalan, dibiarkan terbuka, seperti luka lama yang tak kunjung diobati.
Aspal jalanan dikopek-kopek, tanah merah berserak.
Ban motor dan mobil saling berjaga-jaga menghindari batu kecil yang mengintai di setiap tikungan.
"Ini jalan atau sirkuit, Pak Dhe?" tanya Mas Joko, tukang ojek langgananku, saat kami melewati jalan sempit menuju rumah.
"Kita pembalap uji nyali gratis," jawabku dengan setengah bercanda, setengah prihatin.
Saat hujan turun, situasi makin kacau.
Bukan cuma becek dan licin, tapi amarah warga juga meledak.
"Jalan kayak gini, bikin pusing tujuh keliling," keluh Pak Saman sambil mengusap keningnya yang berkeringat.