Mohon tunggu...
Didik Prasetyo
Didik Prasetyo Mohon Tunggu... Live - Love - Life

Menulis adalah cara untuk menyulam hidup dan mengabadikan kasih yang tak lekang oleh waktu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senja, Kopi dan Mendoan

3 April 2025   12:26 Diperbarui: 3 April 2025   12:59 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senja turun perlahan di ufuk barat, mewarnai langit dengan semburat jingga yang hangat. Angin sore berembus lembut, membawa aroma tanah yang masih sedikit basah setelah gerimis siang tadi. Di teras rumah tua bercat putih, seorang pria paruh baya duduk santai di kursi kayu favoritnya. Di hadapannya, segelas kopi hitam mengepul, menebarkan harum khas yang menenangkan. Di sampingnya, sepiring mendoan hangat dengan sambal kecap menggoda selera.

Ia mengambil sepotong mendoan, mencelupkannya ke dalam sambal, lalu menggigitnya perlahan. Renyah di tepi, lembut di dalam, sensasi yang selalu mengingatkannya pada masa muda. Dulu, di kampung halamannya, ia sering menikmati momen seperti ini bersama ayahnya. Sang ayah, dengan suara berat dan lembutnya, sering berkata,
"Senja itu pengingat, Nak, bahwa segala sesuatu di dunia ini ada akhirnya. Jadi, nikmati selagi ada."

Kata-kata itu selalu terngiang di kepalanya, terutama di hari-hari seperti ini, saat ia duduk sendiri menikmati senja. Waktu berlalu begitu cepat. Ayahnya telah lama pergi, anak-anaknya pun telah dewasa dan sibuk dengan kehidupan masing-masing. Namun, kopi, mendoan, dan senja selalu menjadi cara baginya untuk menghidupkan kembali kenangan.

Ia menyeruput kopinya perlahan. Hangatnya mengalir ke tenggorokan, bercampur dengan rasa manis pahit kehidupan yang telah ia jalani. Ia tersenyum kecil. Mungkin benar kata ayahnya---senja bukan sekadar akhir, tapi juga pengingat bahwa setiap hari yang telah berlalu adalah anugerah. Dan seperti kopi dan mendoan yang dinikmatinya sekarang, hidup pun harus disyukuri, seteguk demi seteguk, selagi masih ada waktu.

Hari-hari seperti ini selalu membuatnya berpikir tentang masa lalu. Dulu, rumah ini tak pernah sepi. Gelak tawa anak-anaknya mengisi setiap sudut ruangan, berlarian di halaman, bermain petak umpet di bawah pohon mangga yang kini mulai meranggas. Istrinya, yang selalu sibuk di dapur, akan keluar membawa sepiring camilan untuk menemani waktu santai mereka. Biasanya, mendoan selalu menjadi favorit, apalagi jika dimakan hangat-hangat sambil bercengkerama.

Tapi sekarang, hanya kesunyian yang menemaninya. Istrinya telah berpulang beberapa tahun lalu, meninggalkannya dengan kenangan yang tak akan pernah pudar. Anak-anaknya sesekali pulang, membawa cucu-cucu yang riang, namun kebanyakan waktu ia habiskan sendiri, hanya berteman senja dan segelas kopi.

Namun, ia tidak mengeluh. Justru dalam kesendirian inilah ia menemukan kedamaian. Ia belajar menikmati setiap detik yang masih diberikan kepadanya. Menikmati kesederhanaan hidup, seperti menyeruput kopi di sore hari, menggigit mendoan yang renyah, dan menyaksikan matahari perlahan tenggelam.

Ia kembali mengingat kenangan bersama sang ayah. Dulu, setiap kali ia pulang sekolah, ayahnya selalu menunggu di teras dengan dua gelas kopi dan sepiring mendoan. Saat itu, ia selalu berpikir bahwa ayahnya hanya ingin menghabiskan waktu bersantai. Baru sekarang ia mengerti, bahwa itu adalah cara ayahnya mengajarkan arti kehidupan. Bahwa hidup bukan sekadar bekerja dan berlari mengejar impian, tetapi juga tentang menikmati momen-momen kecil yang berharga.

Sejenak, ia menutup matanya, merasakan angin sore yang mengusap wajahnya. Suara burung-burung yang kembali ke sarang, suara anak-anak kecil yang masih bermain di kejauhan, dan aroma kopi yang semakin menenangkan. Hidup, ternyata, tak harus selalu penuh dengan hal-hal besar. Kebahagiaan sejati sering kali tersembunyi dalam hal-hal yang sederhana.

Ketika ia membuka mata kembali, matahari sudah hampir tenggelam sepenuhnya. Langit mulai beralih dari jingga ke ungu keemasan. Ia meraih potongan terakhir mendoannya, mengunyahnya dengan perlahan, seolah ingin menyimpan rasa itu lebih lama. Sementara itu, pikirannya kembali mengembara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun