3. Biasanya kalau negara terancam gagal bayar cicilan utang, maka solusinya akan mencari utang baru untuk digunakan membayar cicilan utang lamanya, atau menjadwal kembali jatuh tempo utang yang ada. Kalau sekali mungkin bisa dimaklumi, tetapi kalau sudah terjadi berkali-kali, ini namanya “memelihara bom” yang sewaktu-waktu bisa meledak kapan saja.
Sementara untuk Indonesia, posisinya saat ini jelas sedang dalam kesulitan. Bila ada kebutuhan devisa baru yang mendesak, pemerintah sering cari-cari pinjaman baru atau jual surat utang negara. Bahkan pemerintah sampai saat ini terus membiarkan pengiriman TKW ke negara lain demi mendapatkan devisanya.
Kalau dalam kondisi seperti ini, kemudian pemerintahan Pak Jokowi nekad fokus pada pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah dengan dana sekitar Rp 5.500 trilyun bahkan bisa membengkak lagi, dan sebagian besar dana tersebut berasal dari investasi utang luar negeri, maka akan ada “lomba adu cepat” antara selesainya pelaksanaan pembangunan infrastruktur, yang jelas membutuhkan waktu cukup lama, dengan kemungkinan nilai tukar rupiah yang sewaktu-waktu bisa terperosok dan terperosok lagi.
Artinya selama pembangunan infrastruktur itu dilakukan, rakyat harus siap-siap menghadapi terjadinya inflasi dan inflasi yang semakin membuat stres banyak orang. Sedangkan pemerintah setiap saat harus selalu mencari-cari calon pemberi utang baru dan utang baru lagi. Kemudian yang akan panen keuntungan, yaitu negara-negara atau para investor asing yang suka menebar perangkap utangnya ke negeri ini. Sanggupkah para pengusaha dan rakyat kecil menghadapi situasi seperti ini terus-menerus?
Apalagi kita masih tidak jelas, apakah pembangunan infrastruktur itu sudah didasarkan atas kebutuhan perhitungan ekonomi yang menguntungkan atau sebagai proyek perintis ? Sebab kalau berdasarkan kalkulasi kebutuhan ekonomi yang menguntungkan, maka negara-negara investor itu tidak akan menuntut adanya penjaminan pemerintah terhadap utang-utangnya.
Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Pak Rizal Ramli, misalnya untuk listrik. Mereka (investor) minta, kalau nantinya proyek pembangunan itu tidak sesuai dengan perhitungan ekonominya, maka sisanya harus dibeli oleh pemerintah Indonesia. Bagaimana dengan pembangunan jalur kereta api di Kalimantan, Sulawesi dan Papua? Bagaimana juga dengan pelabuhan-pelabuhan dan bendungan-bendungan? Proyek perintis atau menguntungkan? Jangan-jangan kita hanya membangun infrastruktur, karena faktor emosional saja ? Pokoknya dimana-mana harus ada pembangunan, tak peduli apakah nantinya kalau sudah jadi akan “mangkrak” lagi dan menjadi beban negara, atau benar-benar bermanfaat untuk meningkatkan daya saing industri kita.
Pembangunan Infrastruktur Yang Sudah Ada ”Tidak Bermanfaat”
Setiap merencanakan pembangunan infrastruktur pemerintah selalu mengatakan: “ini akan lebih menyejahterakan rakyat ke depannya, karena akan meningkatkan daya saing bangsa kita.” Para pengusaha dan rakyatpun percaya akan janji tersebut, tetapi apa hasilnya ? Kebutuhan hidup semakin lama tidak semakin murah, justru sebaliknya semakin lama semakin mahal.
Selama 10 tahun pemerintahan Pak SBY, sebenarnya juga tidak sedikit infrastruktur yang sudah dibangun. Contoh: Proyek listrik 10.000 megawatt, jembatan Suramadu dan jembatan Kelok Sembilan di Sumatera, tol Bali – Mandara, sebagian jalan Trans Jawa dan Trans Sumatera, Jalur Ganda KA Jakarta Surabaya, perluasan bandara dan pelabuhan di berbagai wilayah, pembangunan kanal banjir, jaringan komunikasi, dll.
Sayangnya, tidak ada pembangunan infrastruktur mendasar yang terkait dengan ketersediaan energi migas. Juga, masih banyak pembangunan infrastruktur mangkrak yang kemudian diteruskan oleh Pak Jokowi.
