5.Apakah kebijakan Pak Jokowi tidak ada yang baik ?
Ada. Hemat anggaran rapat PNS, moratorium penerimaan PNS baru, 6 paket kebijakan pemerintah sebagai antisipasi terus menurunnya nilai tukar rupiah, program rumah rakyat satu juta, membangun bendungan baru, dll. Tetapi kebijakan –kebijakan yang dipilih tersebut, banyak yang tidak berdampak langsung pada kondisi saat ini. Padahal yang dibutuhkan rakyat adalah yang bisa segera dirasakan dalam waktu dekat ini, misalnya: menurunnya harga barang, murahnya transportasi, murahnya biaya pendidikan, tidak adanya pungutan liar, perbaikan fasilitas umum, dll. Dimana untuk memperbaiki itu semua sebenarnya tidaklah membutuhkan waktu yang lama.
6. Bagaimana dengan tambahan anggaran DPR, kenaikan tunjangan pegawai pajak, kenaikan tunjangan TNI, pembagian Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Keluarga Sejahtera ?
Kalau kebijakan ini tidak didasarkan atas pertimbangan yang komprehensif, maka dampaknya hanya akan membuat inflasi bisa semakin jauh dari targetnya. Sebagaimana yang diketahui dari APBN-P 2015, inflasi atau kenaikan harga barang dipatok sebesar 5%. Artinya, kalau ada barang kebutuhan sehari-hari yang berharga Rp 100.000 maka harganya akan naik menjadi Rp 105. 000. Atau, kalau laporan BI terhadap inflasi tahunan yang sudah berjalan selama 3 bulan ini: Januari 6,96%, Februari 6,29 %, Maret 6,38% dan seterusnya. Berarti harga barang yang sebelumnya Rp 100.000 menjadi naik maksimal RP 107.000. Tetapi kenyataan di lapangan, bagaimana ? Ternyata kenyataan di lapangan, kenaikan harga barang yang terjadi sangatlah jauh dari 5-7%. Kenapa bisa seperti ini ? Jawabnya: ternyata laporan itu tidaklah mencerminkan kondisi di lapangan !
7.Mengapa saya tidak setuju dengan kenaikan harga BBM (pencabutan subsidi BBM), padahal itu mencegah terjadinya pemborosan anggaran negara ?
Permasalahan BBM Indonesia itu sebenarnya bukan sekedar pada masalah besarnya subsidi yang ratusan trilyun , kemudian harus dicabut karena dianggap hanya membuang uang di jalanan. Tetapi sebenarnya yang terjadi adalah pembelian BBM yang boros oleh kendaraan-kendaraan pribadi terutama mobil. Karena itu yang harus dilakukan bukan mencabut subsidinya, melainkan mencegah bagaimana pertumbuhan mobil pribadi dan sepeda motor ini agar tidak terus melaju. Juga mengurangi penggunaan mobil pribadi untuk transportasi , terutama yang dilakukan di dalam kota. Kalau cuma subsidinya yang dicabut, tetapi pertumbuhan kendaraan bermotor diperlancar dengan adanya sistem kredit, dan mobil pribadi di dalam kota dibiarkan berkeliaran dengan 1-3 penumpang saja, maka pembelian BBM oleh rakyat ini akan tetap tinggi dan kemacetan semakin panjang, sehingga impor BBM semakin bertambah banyak, dan defisit perdagangan terus terjadi. Dampaknya, pelemahan nilai tukar rupiah akan terus menghantui pertumbuhan ekonomi kita.
Namun kalau yang dilakukan oleh pemerintah , yaitu stop fasilitas kredit mobil pribadi, dan kredit sepeda motor kepemilikan kedua serta dukung industri otomotif ini untuk industri ekspor, kemudian membuat peraturan nasional tentang penggunaan mobil pribadi di dalam kota minimal harus 4 penumpang, sekolah anak harus dekat rumah sehingga mereka bisa berangkat ke sekolah dengan naik sepeda, dan lain-lain, maka otomatis pembelian BBM akan berkurang banyak, dan anggaran subsidi juga berkurang walaupun subsidinya tidak dicabut. Kalau mobil pribadi jarang digunakan, maka pembelian BBM impor oleh Pertamina juga akan berkurang drastis. Hal ini akan memperbaiki neraca perdagangan kita, dan mendorong nilai tukar rupiah menjadi menguat. Apalagi kalau harga BBM-nya turun seperti sekarang ini, maka subsidi BBM itu sudah semakin kecil atau bahkan habis. Terus yang dikatakan sebagai alih dana subsidi BBM yang ratusan trilyun untuk pembangunan infrastruktur itu yang mana ? Inilah yang harus kita cermati bersama.
Jadi kalau kemarin itu Pak Jokowi tidak menaikkan harga BBM, maka otomatis subsidi BBM-nya tetap akan turun karena harga BBM dunia memang sedang turun, dan tidak akan terjadi inflasi karena adanya kenaikan harga BBM. Kalaupun kemudian terjadi pelemahan nilai tukar rupiah, penurunannyapun tidak akan terlalu dalam. Apalagi kalau didukung dengan kebijakan yang tepat, maka nilai tukar rupiah yang waktu itu sudah sempat menguat, akan terus semakin menguat. Selanjutnya, ini akan menjadi bola salju yang terus menggelinding, tetapi dampaknya akan membuat harga-harga barang justru menjadi turun, dan daya beli rakyat menjadi meningkat. Artinya negara lain boleh terpuruk, tetapi bukan berarti negara kita harus mengalami hal yang sama, bukan ?
Kesimpulan
Negara Indonesia benar-benar dalam keadaan yang sangat kritis, karena jaminan stabilitas keberlangsungan negara ini secara normal hanya 6 – 7 bulan ke depan. Artinya kalau setiap ada masalah keuangan, kita masih bisa mencari hutang baru, berarti negara ini masih tetap aman. Sebagaimana yang sudah terjadi dengan kasus pelemahan nilai tukar rupiah baru-baru ini. Pemerintah pada bulan Januari 2015 masih bisa menjual Surat Utang Negara (SUN) di New York senilai US $ 4 milyar , atau kalau di kurs rupiah Rp 12.000 saja, berarti setara dengan Rp 48 trilyun. Juga sebelumnya telah menjual SUN di dalam negeri senilai Rp 3 trilyun.
Namun kalau situasi perekonomian dunia ini terus memburuk, apakah negara-negara donatur hutang atau para investor itu masih mau untuk memberikan hutang baru kepada Indonesia ? Bukankah mereka juga punya kepentingan untuk melindungi negaranya dari keterpurukan ? Artinya, para pemimpin negara kita selama ini terlalu berani untuk berspekulasi mempertaruhkan eksistensi negara Indonesia. Sampai-sampai untuk kebutuhan BBM yang sangat vital, pemerintah Indonesia atau Pertamina hanya menyediakan stok kebutuhan nasional yang berlaku selama 18 hari saja, bahkan informasi terakhir sudah berkurang 1 hari. Sehingga kalau tiba-tiba terjadi situasi yang tidak diinginkan lebih dari 18 hari, tak sanggup rasanya untuk membayangkan apa yang bisa terjadi.
Menyikapi kondisi darurat bangsa Indonesia yang seperti ini, tidak ada jalan lain selain rakyat Indonesia (kita semua) harus bersatu padu untuk mengingatkan Pak Jokowi tentang kondisi ini. Untuk selanjutnya, Pak Jokowi harus segera merevisi kebijakan-kebijakan yang sudah ditetapkannya dengan kebijakan-kebijakan baru sebagaimana telah dikemukakan di atas. Namun implementasi dari kebijakan-kebijakan baru tersebut tidak bisa dikerjakan secara asal-asalan saja, tetapi sangat membutuhkan kerja sinergi dari semua pihak yang terkait . Karena itu koordinasi kerja dan pengawasan yang sungguh-sungguh terhadap pelaksanaannya harus dilakukan oleh Pak Jokowi sendiri atau Wapres, karena ini melibatkan semua departemen. Tidak bisa hanya diserahkan kepada Menko yang ada. Karena itu kerja Pak Jokowi harus fokus, jangan banyak melakukan kegiatan seremonial lagi. Tidak perlu blusukan lagi, cukup pantau perkembangannya dari berbagai media televisi yang ada.
Sebagai kebijakan awal yang harus dilakukan oleh Pak Jokowi saat ini, yaitu: membentuk lembaga negara yang mengatur dan mengendalikan valas terutama untuk dolar, mengurangi kunjungan ke luar negeri, stop studi banding pejabat ke luar negeri , mengurangi beasiswa belajar ke luar negeri, mewajibkan para pejabat negara untuk melepaskan dolar atau valas yang dimiliki kecuali yang berkaitan dengan kebutuhan mendesak, stop fasilitas kredit konsumtif sehingga rakyat menjadi gemar menabung, dan buat kebijakan transportasi mobil pribadi yang tidak menyusahkan kegiatan perekonomian negara.
Sehingga nantinya respon yang terjadi di masyarakat, sbb.: ada pengurangan pembelian BBM dan penurunan pembelian kendaraan bermotor oleh masyarakat sehingga keberadaan stok BBM nasional oleh pertamina bisa diperpanjang, terjadi pelepasan dolar atau valas yang dimiliki para pejabat, pengurangan pembelian barang-barang impor yang tidak penting, tidak lagi sering jalan-jalan ke luar negeri , beasiswa pendidikan ke luar negeri berkurang dan dipilih yang benar-benar dibutuhkan saja, dll. Dimana implementasi dari kebijakan-kebijakan tersebut harus dievaluasi setiap 2 minggu. Kalau ternyata respon masyarakat belum terjadi seperti yang diharapkan, maka perlu dilacak dimana letak permasalahannya dan kemudian harus dilakukan perbaikan.
Sebaliknya kalau hal tersebut bisa terjadi, maka akan bisa segera memperbaiki kondisi neraca perdagangan dan neraca pembayaran Indonesia, sehingga nilai tukar rupiah terhadap dolar akan sedikit menguat. Kemudian, nantinya juga akan diikuti pelepasan dolar atau valas oleh masyarakat karena mereka takut mengalami kerugian yang lebih besar. Berikutnya, adanya nilai tukar rupiah yang menguat ini harus diikuti dengan turunnya harga listrik, LPG, dan transportasi karena biaya pengadaannya yang tergantung dari nilai tukar rupiah ini sudah menurun. Kemudian Bank Indonesia, tentunya juga akan menurunkan suku bunga acuannya.
Selanjutnya, kalau ongkos produksi dari kegiatan-kegiatan industri itu sudah banyak yang turun, maka harga-harga barang dan jasa juga akan menurun dengan sendirinya sehingga daya beli rakyat ini menjadi meningkat walaupun tidak ada kenaikan gaji. Namun kalau ternyata harga produk-produk tersebut tetap tidak mau turun, berarti harus disaingi dengan mendatangkan produk impor, dan pelaksananya harus pemerintah.
Hal ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Pak Jokowi pada waktu lalu, yaitu menurunkan harga BBM, tetapi tidak dibarengi dengan kebijakan yang bisa meningkatkan nilai tukar rupiah. Jadinya BBM harganya turun, namun tidak diikuti dengan penurunan harga barang, karena nilai tukar rupiahnya terus melemah. Ditambah dengan adanya kebijakan-kebijakan negara yang hanya mengeluarkan anggaran saja: kenaikan gaji, Kartu Indonesia Pintar, Kartu Keluarga Sejahtera, dll. Kebijakan itu justru memperparah terjadinya inflasi, karena uang yang beredar semakin bertambah banyak namun tidak diikuti dengan pertumbuhan industrinya, sehingga hal ini hanya akan menambah masalah baru bagi bangsa kita. Yang merasa dapat “tambahan uang” akan merasa diperhatikan oleh pemerintah, sementara pihak yang lain yang tidak dapat “tambahan uang” akan merasa hanya diperas saja oleh pemerintah. Akibatnya, ketidak-kompakan sesama anak bangsa akan selalu menyertai perjalanan bangsa Indonesia. Oleh karena itu model-model peningkatan kesejahteraan rakyat yang seperti ini haruslah segera ditinggalkan karena tidak mencerminkan keadilan dan hanya memecah belah anak bangsa.
Nantinya, kalau Pak Jokowi telah berhasil mewujudkan harapan rakyat yang tidak muluk-muluk ini, baru kemudian beliaunya merencanakan program-program besar pembangunan fisik yang manfaatnya akan bisa dirasakan dalam jangka menengah dan jangka panjang. Tetapi tidak boleh dengan mengobral investasi asing atau hutang luar negeri agar kesalahan yang sama tidak terulang kembali. Sebaliknya dibangun kesadaran anak bangsa untuk memiliki negaranya. Sehingga pembangunan bangsa Indonesia, nantinya tidak selalu harus ditebus dengan pengorbanan rakyat kecil lagi. Kuncinya: Pak Jokowi harus melaksanakan janji kampanyenya, jangan menyakiti hati rakyat, terapkan manajemen keterbukaan dan kejujuran, jalin komunikasi dengan rakyat, serta jangan mengadu domba masyarakat. “Kesalahan bisa saja dilakukan oleh seorang pemimpin bangsa, tetapi tidak boleh terus ditutup-tutupi agar tidak semakin menambah kesalahan-kesalahan yang baru yang bisa memperburuk keadaan.”
Mudah-mudahan dengan cara demikian, rakyat Indonesia bisa segera merasakan adanya perubahan kehidupan yang lebih baik, dan negara bisa keluar dari cengkeraman berbagai masalah yang ada. Sehingga momen kebangkitan nasional yang ke-107 dan kemerdekaan bangsa yang ke- 70 tahun ini, tidak hanya diperingati sebagai kegiatan seremonial saja, tetapi benar-benar bisa membuat kesadarannya anak bangsa untuk bangkit dari ketidak-berdayaannya. Kemudian bersama-sama berlari menyusul kemajuan negara-negara tetangga, negeri India, dan negeri Cina.
Demikianlah konsep pemikiran yang baru saja saya kirimkan kepada Pak Jokowi. Namun semua ini tidak akan bermanfaat kalau beliaunya tidak membacanya atau mengabaikannya. Karena itu apa yang coba saya perjuangkan ini, mohon dukungan dari teman-teman semua. Apapun bentuknya, tapi jangan melakukan perbuatan yang anarkis. Terutama teman-teman mahasiswa dan para aktivis yang berada di Jakarta, silahkan mendiskusikan konsep pemikiran ini terlebih dahulu. Kalau setuju bisa ditunjukkan kepada Pak Jokowi. Kita harus berbagi peran ! Sebab kalau kita hanya bisa usul tentang resuffle kabinet saja, tanpa mengetahui duduk permasalahan bangsa yang sesungguhnya, maka hasilnya akan percuma. Demo dan demo lagi, akan habis energi bangsa ini untuk hal yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Tetapi kalau sumber permasalahan bangsa ini sudah diketahui, semua pihak akan tahu kebijakan apa yang harus diperbaiki oleh presiden, kementerian apa yang perlu diresuffle, dan apa yang harus dilakukan oleh Menteri yang baru. Selanjutnya, kita semua harus berperan menjadi pengawas yang aktif, sesuai dengan kapasitas kita masing-masing. Terima kasih.
Indonesia kompak ! Indonesia Sejahtera ! Indonesia Jaya !
Referensi:
http://www.antaranews.com/berita/473057/pemerintah-tetapkan-penjualan-global-bond-empat-miliar-dolar
www.bi.go.id/id/statistik/utang-luar-negeri
http://bisnis.liputan6.com/read/2209918/cadangan-devisa-ri-tergerus-us-39-miliar-di-akhir-maret-2015
http://www.kemenkeu.go.id/uuapbn
Catatan:
Pada tanggal 14 Januari 2016 telah dilakukan edit tulisan untuk disesuaikan dengan format baru Kompasiana dan ditambah gambar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI