Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Perpustakaan Sayang, Perpustakaan Malang

18 Maret 2017   15:43 Diperbarui: 19 Maret 2017   10:00 659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menyoal tentang lift, saya mesti tekankan betapa mirisnya saya jika harus masuk ke dalamnya. Anehnya, sudah sejak dulu saya masuk ke sini pertama kali (kira-kira tahun 2015), tombol-tombol lift ini sudah berkurang tingkat kepekaannya. Sudah bukan hal aneh jika kita menekan satu tombol lantai kemudian tiba-tiba tombol itu mati begitu saja dan harus ditekan lagi. Dan karena gemas, kami menekannya dengan keras. 

Itu kalau orang dewasa yang masih bisa berpikir waras. Kalau pengunjung anak-anak, tidak jarang mereka sebal karena lambatnya kerja lift sampai mereka tekan dan pukul tombol operasi lift sampai jebol dan lampu penunjuk lantai sudah tak bisa bekerja sebagaimana mestinya. Dan anehnya, lift yang paling timur hampir selalu tidak dioperasikan dan baru dijalankan jika ada tamu penting dan ada acara di aula lantai tujuh. Selain itu, tidak bisa diakses. Lift barang yang dulu pernah saya pakai juga sudah lebih jarang dioperasikan, membuat kami yang bertandang mesti memakai dua lift di ujung barat saja. 

Lalu tentang kualitas pelayanan, saya menyaksikan tidak ada yang banyak berubah. Mereka yang bekerja masih sama baik dan ramahnya. Hanya saja saya amati jumlahnya lebih sedikit dari sebelumnya. Dan mulai 2017, terasa ada yang aneh karena para staf yang junior dan biasa bertugas saya tak jumpai lagi. Saya menerka mereka dimutasi ke tempat lain. Entahlah, namanya juga birokrasi. Bukan birokrasi namanya kalau tidak mengandung misteri. Apalagi ini di Indonesia.

Mengenai musholla dan kamar mandi, saya tidak menyangka saya dikecewakan dengan seringnya ditempel pemberitahuan “TOILET DAN AIR RUSAK” di sini. Dan ini sepanjang pengetahuan saya baru terjadi setelah waktu bergulir ke 2017. Tahun sebelumnya tak pernah saya harus ke lantai bawah cuma untuk ke kamar mandi. Memang sistem air di gedung ini memprihatinkan tetapi makin lama, karena makin tak dipedulikan, rasanya fungsi makin menurun juga.

Yang paling membuat saya kecewa ialah jam operasional yang malah dipangkas dari pukul 9 pagi sampai cuma 5 sore. Padahal tiap hari di tahun sebelumnya tempat ini terbuka dari pukul 9 pagi sampai 8 malam (meski teorinya begitu, kadang pukul 19.30 pelayanan sudah mulai diakhiri.

Kalaupun ada kemajuan yang patut diapresiasi di perpustakaan umum ini adalah volume pelantang suara untuk mengabarkan pengumuman yang ada di dalam ruangan perpustakaan yang lebih keras suaranya. Dulu, volumenya begitu rendah sampai kami hanya mengira si petugas di mikrofon cuma iseng berbisik-bisik pada kami.

Lalu penggunaan teknologi informasi di perpustakaan yang tampak mubazir. Pemerintah DKI tampaknya menganggarkan pembelian sejumlah sabak elektronik (tablets) yang terkini bermerek Samsung dengan tepian warna keemasan yang  kemudian dipasang dengan tali pengaman di meja-meja. Tujuannya untuk memudahkan mengakses aplikasi e-library.

Tapi itu semua mubazir, karena selain jarang sekali saya jumpai pengunjung yang mengaksesnya (karena buat apa pakai gawai orang lain jika sudah punya sendiri?), gawai-gawai ini tidak bisa dipakai secara maksimal tanpa sinyal internet nirkabel yang lancar! Dan sudah beberapa lama ini, seingat saja sejak 2017, koneksi wifi di sini sudah rusak. Dan hal itu memang sudah diumumkan terus menerus di meja resepsionis tapi beberapa pekan dan bulan berlalu, masalah wifi ini membuat para pengunjung yang mayoritas mahasiswa yang ingin menghabiskan waktu di perpustakaan untuk berselancar di dunia maya menjadi frustrasi. Termasuk saya!

Seorang teman juga mengeluhkan pelayanan perpanjangan buku pinjaman yang sekarang tahun 2017 ini sudah menutup cara perpanjangan dengan cuma menelepon untuk memberi kabar ke pustakawan. "Sebal, sekarang mesti datang ke sana juga! Mana aku punya waktu!" begitu alasannya.

Dengan langkah gontai, saya tukarkan kartu identitas saya dengan kunci loker dan meninggalkan perpustakaan seraya membatin,”Ya setidaknya ini masih lebih enak daripada mesti nongkrong di Starbucks, merogoh kocek untuk bisa duduk dan menulis di kursi kayu yang ergonomis dan pemandangan langit nan lapang dan citra eksklusif.” Tetapi siapa yang butuh citra?

Dan untuk membuktikan betapa kecilnya perhatian yang didapatkan perpustakaan dalam birokrasi dan pemerintahan selama ini, kita bisa saksikan bagaimana papan penunjuk arah perpustakaan ke kawasan Rasuna ini dipasang di Pancoran dan Jl. Diponegoro, Menteng. Saya saat pertama tinggal di Jakarta dulu penasaran dengan lokasi perpustakaan begitu melihat papan itu tetapi setelah beberapa lama baru bisa tertawa kecut menyaksikan papan-papan itu dipasang di sana. Apa pasal? Karena sungguh papan itu tidak ada gunanya sebab tidak mencantumkan alamat tepat perpustakaan dan jaraknya terlalu jauh dari lokasi perpustakaan di sebelah GOR Sumantri ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun