Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Dunia Artis: Potret Buram KDRT, Ruang Pembelajaran Tak Pernah Usai

12 Februari 2023   00:41 Diperbarui: 5 Maret 2023   19:21 577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang harus kita lakukan, seperti saran orang bijak, tak ada cara sembuh bagi penderita toksik, jadi sebaiknya ditinggal jauh. Lantas bagaimana jika itu pasangan hidup kita?. Sulit menjawabnya. Ada yang bisa?, apakah harus “melepaskan “layangannya?”.

Beberapa rekomendasi menarik, masih patut diperdebatkan, apalagi bagi para penganut hubungan ambivalen, love-hate-relationship. Biar disakiti, asalkan tetap bisa bersamanya tak mengapa.

Waspadai Sejak Pre Marriage Talks

sumber foto-inspiredforward.com
sumber foto-inspiredforward.com

Ternyata Pre-Marriage Talks (PMT) bukan urusan sepele. Bahwa penting membicarakan PMT sejak awal. Tentu saja bukan cuma tentang bagaimana acara resepsi akan dibuat, dimana dan siapa weeding organizer-nya saja, tak sesederhana itu. Ada yang jauh lebih penting, kurang lebih ini tentang masa depan pernikahan dan perkawinan itu sendiri.

PMT itu deep conversation antara kita dan partner tentang banyak hal yang nantinya bakal mempengaruhi kehidupan perkawinan kita. Bisa saja tentang prinsip, impian, pandangan hidup. Bisa saja PMT sekedar dimulai dari pertanyaan sederhana, Apakah sebagai istri masih tetap boleh bekerja setelah menikah?.

Bagi pasangan muda, permasalahan seperti ini barangkali tak sepenuhnya masuk dalam agenda. 

Beberapa pasangan mengabaikan peran emosional orang tua, dengan kata lain sebagai generasi yang banyak tahu, mereka merasa hal-hal tentang PMT adalah fase dan proses yang telah mereka ketahui jauh sebelum keputusan untuk menikah.

Mereka lebih tertarik melihat dinamika romantisme cinta sebagai modal utama. Pasangan yang terbaik, pasangan yang "ada apanya", bukan lagi "apa adanya" yang tak cukup untuk memodali hidup dalam kekinian jaman.

PMT dan KDRT Di Masa Depan yang Panjang

sumber gambar-LBH Apik
sumber gambar-LBH Apik

Menikah bukan proses kebersamaan yang sebentar, jika bisa, hingga "menua bersama". Bayangkan jika kita akan hidup dengan seseorang yang hanya dia yang akan menjadi teman dekat kita selamanya.

Apakah bisa hidup rumah tangga, dimulai dengan kalimat "yang penting nyaman dulu, biasanya kalau sudah nyaman nanti langgeng sendiri". Atau seperti wejangan orang tua kita, jika setelah sekian bulan ia aman-aman saja, itu pertanda hubungan kalian akan baik-baik saja.


Apakah trial and error, juga berlaku dalam kehidupan pernikahan?. Sehingga seperti banyak orang di luar sana, pernikahan itu diawali dari pertemanan, membangun komitmen tanpa ikatan, menjalani rumah tangga tanpa komitmen. Ketika semuanya terasa nyaman, maka mereka memutuskan untuk menjadikan komitmen itu sebagai ikatan resmi.

Umum terjadi, ketika komitmen model itu dibangun, timbul "rasa terikat" yang membuat kenyamanan menjadi "penjara" dan tiba-tiba membuat hubungan yang biasanya bebas tanpa komitmen menjadi terasa aneh dan janggal.

Breakdown Saja PMT-nya Agar makin jelas dan terukur solusinya

sumber gambar-deepublishstore
sumber gambar-deepublishstore

Pertama; Bagaimana soal hidup dan prinsip. Apakah benar perbedaan akan membuat kita saling melengkapi dengan pasangan dengan sendirinya?.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun