Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Dunia Artis: Potret Buram KDRT, Ruang Pembelajaran Tak Pernah Usai

12 Februari 2023   00:41 Diperbarui: 5 Maret 2023   19:21 577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang menjadi ide tantangan kompasiana saat ini adalah bentuk pembelajaran positif yang luar biasa. Bahwa kekerasan tidak hanya menimpa kalangan artis, KDRT juga menimpa siapa saja. Bisa jadi beritanya tidak menyembul ke permukaan.

Kekerasan Dalam Rumah Tanggal terjadi pada bangunan hubungan personal. Suami dan istri. Orangtua dan anak. Mertua dan menantu. Majikan dan Pekerja Rumah Tangga. Atau bahkan pada relasi pria wanita berpacaran.

Kekerasan domestik penyebab derita fisik, kemuraman psikologis, dan penelantaran.

Bermula dari pendekatan dengan keindahan cinta. Kemudian terjalin hubungan manis bernuansa kasih sayang. Dalam perjalanan muncul onak duri penyulut perbedaan pendapat, perselisihan, pertengkaran, dan berakhir dengan perbuatan kekerasan. KDRT!

Kok bisa, hubungan yang semula diwarnai cinta lalu berujung pada duka dan luka?

Melihat Realitas Apa Adanya, Bukan Ada Apanya

Tak hanya ketika sampai pada tahapan berumah tangga, bibit kekerasan sebenarnya sudah bisa dirasakan ketika kita membangun sebuah relasi-hubungan didasarkan pada toxic relationship.

sumber gambar-kompas.com
sumber gambar-kompas.com

Solusi terbaiknya, berusahalah untuk bertindak 'waras". Pendekatan waras demi menjalani hidup yang lebih baik, itu nasehat pertama dari Mark Manson dalam buku “Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat”. Agaknya cara waras adalah pilihan tepat, untuk menyudahi hubungan toksik atau toxic relationship yang tak punya titik temu.

Persis seperti minyak dan air, seperti sebuah stereotip, karakter toksik muncul berulang dalam sebuah skema hubungan. Maka bersikap “bodo amat”, dengan seseorang berpribadi toksin adalah cara termudah.

Namun dalam banyak kasus sebagian orang menggunakan pendekatan, layaknya minum obat. Obat pada dasarnya racun, karena dianggap bisa menyembuhkan maka menjadi pilihan satu-satunya. Ketika menjadi addict atau candu, maka obat itu pada akhirnya akan membunuh secara perlahan.

Padahal sebuah “obat” ada yang diperuntukkan untuk sekedar mengurangi rasa sakit, menyembuhkah gejala, menyembuhkan sementara, dan pengendali penyakit, intinya tidak untuk menyembuhkan secara total.

Sudah menjadi hal umum jika hubungan adalah sebuah kerja keras. Katakanlah dalam sebuah hubungan, pertengkaran adalah sesuatu yang normal. Namun  banyak yang menutup mata tentang adanya hubungan yang toksik berwujud pertengkaran tak berkesudahan.

Jika kita berhubungan dengan orang yang kerap menimbulkan konflik dalam hidupmu, mungkin saja kita sedang berhubungan dengan orang yang toksik. Toksik dalam diri seseorang mungkin tidak dianggap sebagai gangguan mental, namun mungkin ada suatu masalah mental yang mendasari kenapa seseorang bertindak seperti itu.

Kecenderungan yang Merusak

suber gambar-gramedia digital
suber gambar-gramedia digital
Orang-orang yang tidak pernah bertanggung jawab atas perasaannya sendiri, memproyeksikan perasaannya kepada orang lain dan kehidupan orang lain, serta mengganggap emosi yang buruk berasal dari orang lain, adalah sebuah “penyakit” yang diidap para toksik.

Kecenderuangan bertindak manipulatif, menggunakan orang lain untuk mencapai tujuan tanpa perlu menanyakan pendapat orang lain, sekalipun berdampak buruk.

Pernah dengar istilah, “senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang”, meskipun bisa di identikan dengan sifat iri, sifat ini adalah ciri seorang berpenyakit toksik. Betapa sulitnya untuk peduli dan mendukung orang lain.

Apa Solusi terbaiknya keluar dari jebakan hubungan TOXIC?

Bagaimana jika kita berada dalam sebuah hubungan, ketika pasangan memaksakan kehendak, menjadi “episentrum” dalam semua hal?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun