Aku tak boleh melahirkan hujan malam ini. Kataku dalam hati. Biarlah langit mewakiliku melahirkan hujan. Hujan yang justru menghapus derai dari kedua matamu. Â
"Maafkan aku" katamu tiba-tiba, saat kau sudah mampu menghentikan hujan dari kedua matamu.Â
Aku mengingat kata itu sepuluh tahun lalu, saat kau dan aku memulai lagi bercerita tentang malam dan hujan yang sekian lama kita kumpulkan dan sesaat lamanya terburai oleh angin pegunungan. Katamu waktu itu, ternyata hujan dan malam bersamaku selalu membuatmu rindu pulang. Rindu ke rumah yang tanpa beranda itu.Â
Setelah itu kau mengajakku bermain hujan di tengah malam itu, hingga pagi. Dan esoknya, dengan tergesa aku membuka pintu. Lalu memulai membuat beranda. Agar sore, kita bisa menikmati hujan dari beranda dengan kehangatan kopi yang kau seduh. Sambil mengumpulkan catatan tentang hujan menjelang malam tiba.Â
***
Malam ini, aku hanya mengingat saja, hujan pada sepuluh tahun lalu. Namun, tak ingin mengenangnya, apalagi mengulangnya. Biarlah hujan sepuluh tahun lalu, di malam itu, menjadi cerita perjalanan. Ketika sampai saat ini dan nanti, kita masih mengumpulkan catatan-catatan tentang malam dan hujan yang berderai-derai.Â
***
Salam hangatÂ
Mas Han. Manado, ketika hujan di tengah malam, 9 November 2021
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI