Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Suara Asmara dan Angkasa

7 Desember 2021   22:00 Diperbarui: 7 Desember 2021   22:33 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Cerpen. Sumber: Dokumen pribadi

Selarik surat dari Kinanti Asmara, melambungkan angan Bayu Angkasa, yang kala itu di bawah senja Minahasa, seperti terbang melayang-layang dengan cepat ke langit Perancis.

Bukan. Sebaliknya suara lembut Bayu Angkasa, terbawa terbang oleh angin, melewati lautan hingga lautan di bawah langit Perancis, lalu turun pelan hingga terdengar lembut di kedua telinga Kinanti Asmara, yang sedang menanti di setiap malam-malamnya.

Oh ternyata bukan salah satunya. Keduanya. Kedua suara batin Kinanti Asmara dan Bayu Angkasa bersahutan, dalam belantara malam. Dalam keterpisahan jarak, antara Minahasa dan Perancis, suara batin keduanya, bersahutan. Saling memanggil.

Suara Kinanti Asmara, bagai desau angin malam, yang menyentuh awan, seiring malam terus berganti, dari purnama ke purnama, dan terdengar syahdu meski lirih di telinga Bayu Angkasa.

Sebaliknya, suara Bayu Angkasa mengalun pelan, seiring perpindahan awan dalam setiap pergantian musim, dari pagi hingga petang, hingga pagi lagi.

Mengikuti arah musim dan pergantiannya, yang mempertemukan suara keduanya dalam langit yang sama, meski pada tepi pantai yang berbeda.

Berkata Kinanti Asmara kepada Bayu Angkasa :

Untukmu, kekasih jiwa yang menyentuh alam pikirku. Menuliskan lagi lajur kalimat senja  yang kau temui bersamaku, kini jingganya mulai muram.

Dibalik bilik ruang hati yang rapuh aku menemukan sebuah rasa perih bercampur bau air laut. Ketika layung menutup hari.

Disini, ragaku berada di tengah rimba penantian, saat pasir menjadi gundukan bisu menyaksikan kita bertaut rindu dengan jingga senjamu.

Ataukah rasa yang meradang menanti sebuah beranda pertemuan, seperti sekelumit kalimat yang kau selip di antara soreku.

Tadi,pada selembar kartu pos bergambar Taman Tuileries, Engkau menulis dengan lembut,"Monchéri...Kau tahu, Jardindes Tuileries masih menunggumu. Apakah kaupun merindukanku?         

Melukis kembali sederet ingatan yang terus menghangat, dibentang taman Tileries, disaat bintang besar memburu dengan hasrat hangatnya. 

Lalu ingatan photographic membawaku selekas kilatan cahaya diatas langit Minahasa. Sebuah bintang berekor melaju diatas angkasa pantai,tepat kelingking kita saling bertaut dan di mulut.

Kita terucap pelan sebuah janji di atas gundukan pasir putih yang selalu bisu menyaksikan kita berpaut rindu dengan jingga senjamu.

Oh pemilik rinduku,yang kauberikan,seperti sebuah koma,tanpa pasti harus berhenti kapan. 

Bukankah dihadapan patung Monet,juga air mancur taman Tuileries yang berselubung buih.

Kau pernah berkata,"Titik bukanlah sebuah akhir,asmaraku.Titik adalah awal sebuah perjalanan panjang kita."

Perlahan aku mendengarmu berbisik, pelan,"bilakah kau menyewa,satu saja ruang yang hampir tak bernyawa ini, Tuan? Bahkan melihatmu saja,mungkin hanyalah keberuntunganku"

****

Di bawah langit malam Minahasa, Bayu Angkasa, tertunduk begitu mendengar suara batin Kinanti Asmara yang sedang sendiri di bawah langit Perancis.

Baginya, tiada keindahan yang mampu menjelma bumi dan langit, kecuali suara dan isi hati Kinanti Asmara.

Suara yang membuat Bayu Angkasa, kehabisan kata-kata, karena kata-kata takkan mampu mengukir betapa indahnya, semua kehidupan yang dibayangkannya. Juga mungkin yang dibayangkan oleh Kinanti Asmara.

Berkata Bayu Angkasa kepada Kinanti Asmara, pada malam yang tak pernah bisa disulam lagi di malam-malam setelahnya:  

Mengertilah,semua ini tidak seperti hari-hari kemarin. Hari ini...aku seperti melaju dalam rimba malam yang bias, dengan butiran asmara yang kau larutkan di tiap bejana malammu nan kalam.

Kita selalu kehabisan kata, karena semua kata tentang asmara,semuanya akan punah ketika senja dan malam berebut makna yang paripurna.

Dan senja kita yang jingga dengan semburat cahayanya menjemput malam kita,sama seperti cahaya purnama yang merubah menjadi menara laut lepas.

Layaknya patung indah tertatah tangan Monet,malam ini,kau telah menaruhku dalam telapak tanganmu dan memahatku sedemikian rupa,pujangga kata.

Ketika seuntai senyum lesung pipimu menghampiri kekagumanku bersama angin lirih meniup helai rambut yang menari lincah diatas pipi indahmu.

Kita adalah kata sempurna kala selalu berada dalam mimpi yang sama tanpa kita perlu tahu kapan mimpi itu menjelma, sebab waktu bukan kuasa kita.

Rinduku begitu parah, sayangku. "Jem'excuse.Pourtoutàl'heure,"ku punguti kata yang berhamburan di atas pasir Minahasa. 

Sebelumnya aku minta maaf, hatiku begitu jatuh padamu, kemarin,malam ini,dan nanti.

Pemilik hatiku,penatah mimpiku, aku hanya bisa berhenti memujamu, ketika rindu tentangmu sudah menjelma.

Terbang bersama melewati malam hingga ke batasnya yang tak pernah kita kira..aah..semakin habis kata....dan rindu ini semakin parah.

Gambarmu lengkapi malamku diatas laut terang benderang...cahaya bulan tersamar masuk ke dalam laut yang selalu berkesah tentang warna langit.

****

Berkata Bayu Angkasa kepada Kinanti Asmara, katanya kita bukanlah Romeo dan Juliet yang mengagungkan cinta sedemikian tinggi di atas langit yang tak tergapai, lalu jatuh tragis dalam derita yang abadi.

Kita hanyalah cinta bintang dan surya yang semuanya adalah tentang langit. Kita disana. Sebenarnya kita disana, kita memang sudah disana, tak perlu lagi melihatnya ke bawah. Apalagi jatuh, turun ke bumi.

O, bukan, kita bukan langit, berkata Kinanti Asmara. Kita adalah cinta di atas bumi, dimana telaga dan lautan menghampar. 

Keindahannya mengundang purnama, bintang, mentari, awan, dan semua perhiasan langit, turun ke bumi.

Kita tak perlu kemana-mana, cinta kita ada di bumi dan terus membumi. Bersama, kita akan menjadi semua keindahan tentang semesta.  

***

Salam hangat

Cerpen karya kolaborasi Mas Han dan Ayu Diahastuti. Manado-Solo, kala temaram purnama menebar sinarnya, mengintip dibalik kelambu awan.

Cerpen yang sudah di tulis beberapa Minggu lamanya yang telah lewat. Dan tertunda tayang karena pertimbangan beberapa hal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun