Ataukah rasa yang meradang menanti sebuah beranda pertemuan, seperti sekelumit kalimat yang kau selip di antara soreku.
Tadi,pada selembar kartu pos bergambar Taman Tuileries, Engkau menulis dengan lembut,"Monchéri...Kau tahu, Jardindes Tuileries masih menunggumu. Apakah kaupun merindukanku?     Â
Melukis kembali sederet ingatan yang terus menghangat, dibentang taman Tileries, disaat bintang besar memburu dengan hasrat hangatnya.Â
Lalu ingatan photographic membawaku selekas kilatan cahaya diatas langit Minahasa. Sebuah bintang berekor melaju diatas angkasa pantai,tepat kelingking kita saling bertaut dan di mulut.
Kita terucap pelan sebuah janji di atas gundukan pasir putih yang selalu bisu menyaksikan kita berpaut rindu dengan jingga senjamu.
Oh pemilik rinduku,yang kauberikan,seperti sebuah koma,tanpa pasti harus berhenti kapan.Â
Bukankah dihadapan patung Monet,juga air mancur taman Tuileries yang berselubung buih.
Kau pernah berkata,"Titik bukanlah sebuah akhir,asmaraku.Titik adalah awal sebuah perjalanan panjang kita."
Perlahan aku mendengarmu berbisik, pelan,"bilakah kau menyewa,satu saja ruang yang hampir tak bernyawa ini, Tuan? Bahkan melihatmu saja,mungkin hanyalah keberuntunganku"
****
Di bawah langit malam Minahasa, Bayu Angkasa, tertunduk begitu mendengar suara batin Kinanti Asmara yang sedang sendiri di bawah langit Perancis.