Kenapa itu terjadi? karena para peneliti gagal membangun kerangka pemikiran yang besar tentang kebudayaan yang kita teliti itu sendiri. Peneliti terlalu asyik dengan dunia masa lalunya. Eh maksud saya terlalu ayik dengan isu-isu budaya masa lalu, yang sangat kronologis dan material oriented.Â
Tujuan penelitian arkeologi, intinya untuk menggali nilai-nilai luhur bangsa dalam kerangka pemuliaan peradaban. Artinya,perkembangan dan kemajuan peradaban sebagai landasan pembangunan kita di masa depan.
Contoh, peneliti sangat asyik, menggali tentang jejak-jejak manusia purba, lukisan cadas dan migrasi austronesia, yang kronologis dan hanya melihatnya dalam kacamata material culture.Â
Namun, tidak menangkap isu-isu kebudayaan yang besar lainnya, soal relasi-relasi yang terbangun dalam setiap zaman dalam kerangka waktu dan ruang.Â
Lalu, mengabaikan bagaimana nilai-nilai kebudayaan itu mampu menjadi akar dan ruh kebudayaan yang dapat kita dayagunakan untuk modal kultural membangun masa depan bangsa, dalam artian yang konkret, terukur dan berkelanjutan.Â
Pendek kata, dalam kacamata saya yang minus ini, penelitian arkeologi masih berkutat pada isu-isu kebudayaan dalam sekuen waktu kelampauannya saja, tanpa mempertimbangkan, mengoptimalkan, bagaimana pendayagunaan nilai-nilai kelampauan itu dalam kerangka masa  depan.Â
Tantangan dunia riset arkeologi adalah, bahwa riset arkeologi tidak hanya merekonstruksi masa lalu, menggali nilai-nilai penting kebudayaan, namun juga menentukan arah pembangunan masa depan bangsa.Â
Baca : Tantangan dan Harapan Arkeologi Indonesia dalam Pembangunan Berkelanjutan
Bahasa yang lebih gampang begini deh. Kalau sudah menemukan jejak manusia purba, baik alat maupun kerangka manusianya, para peneliti akan memplublikasikan temuannya terutama rentang waktu zaman manusia purba itu hidup dan cara-cara hidupnya.Â
Rekomendasi untuk hasil penemuan itu, agar situs dilestarikan, sebagaimana seperti apa yang dibangun di Museum Sangiran, yang sangat populer itu.Â