Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menangkap Isu-Isu Besar Kebudayaan Melalui Penelitian Arkeologi

12 Juli 2021   12:19 Diperbarui: 13 Juli 2021   03:45 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Situs arkeologi aalah aatu masjid tertua ditemukan di Tiberias, Israel, diduga dibangun oleh Shurahbil ibn Hasana(Rafael Langier Goncalves via KOMPAS.com)

Bersiaplah wahai para peneliti arkeologi, memasuki dunia riset yang sesungguhnya. 

Riset Arkeologi, Isu Besar Kebudayaan dan Pembangunanisme

Riset arkeologi dituntut mampu menangkap isu-isu besar kebudayaan melalui sebaran artefak-artefak budaya yang berserak. Baik di permukaan tanah, maupun di bawah tanah, ataupun di bawah air.

Sudah puluhan tahun, atau bahkan lebih, kita sudah berkecimpung di dunia penelitian arkeologi. Namun, rasanya kita belum beranjak pada isu-isu kebudayaan yang kelampauan belaka. 

Sepanjang karir saya sebagai peneliti, juga dengan melihat dan mempelajari berbagai hasil riset arkeologi, rasa-rasanya belum puas melihatnya.

Kita masih berkutat pada upaya-upaya rekonstruksi masa lalu saja. Namun bagaimana hasil riset arkeologi dapat mengkonstruksi masa depan, masih belum beranjak, masih tertinggal. Saya menuliskan di Kompasiana ini, bahwa arkeologi tidak hanya merekonstruksi masa lalu, namun juga mengkonstruksi masa depan. 

Baca : Membangun Generasi Milenial Arkeologi Pembaharu

Kita masih asyik bernostalgia ke masa lalu terus. Meskipun apa yang kita lakukan sebagai peneliti, tentu dalam rangka mengungkap identitas, jati diri bangsa. 

Namun, masa lalu yang kita gali, rasanya belum cukup menjadi modal kultural untuk membangun bangsa. Konsep pembangunanisme bangsa kita, sepertinya belum memiliki basis kebudayaan yang mapan untuk menjadi salah satu pijakan dalam membangun arah masa depan bangsa. 

Sebagai peneliti arkeologi, saya mengetahui bahwa banyak pakar-pakar arkeologi Indonesia, yang mumpuni dan populer di bidangnya. Piawai memainkan isu kebudayaan untuk mengungkap berbagai aspek masa lalu dalam penelitiannya.

Namun, saya melihatnya masih dalam kerangka riset arkeologi untuk mengungkap masa lalu, hal ihwal kebudayaan nusantara pada masa lampau. 

Selalu ada pertanyaan dalam hati saya, lalu kalau kita sudah mengetahui kebudayaan leluhur bangsa kita, bagaimana pengetahuan itu mampu digunakan untuk membangun kebudayaan kita di masa depan?

Jati diri kita sesungguhnya tidak hanya berhenti hari ini. Kita membangun jati diri, melalui bahan mentah kebudayaan yang kita ketahui dari berbagai hasil penelitian arkeologi. 

Namun, kemanakah hendak digunakan, hasil penelitian arkeologi itu untuk membangun masa depan bangsa kita? Pertanyaan-pertanyaan yang selalu saja membuat saya gamang. Apakah penelitian arkeologi ini, cukup sampai mengungkap masa lalu? 

Kemudian, pengetahuan masa lalu itu, sebagai bahan atau materi pendidikan dan pencerdasan bangsa, juga penguatan karakter. Kalimat-kalimat itu sungguh terus saja mengalir dalam setiap narasi-narasi kebudayaan kita. Namun, sepertinya narasi-narasi itu tidak cukup menjadi landasan dan modal kultural membangun bangsa kita di masa depan. 

Kita masih gagap menghadapi tantangan zaman, kita masih gagap memasuki dunia digital dan alih teknologi 5.0. Gagap, karena di satu sisi, kita belum selesai menggali nilai budaya masa lampau, yang katanya sebagai penguatan jati diri bangsa. Di sisi lain, kita berburu waktu menghadapi gelombang teknologi, yang di satu sisi menggerus akar-akar kebudayaan kita, hari-hari ini. 

Riset Arkeologi Yang Mampu Melahirkan Modal Kultural Pembangunan

Tulisan ini mungkin seperti bentuk kegelisahan saya sebagai peneliti, sebagai arkeolog, yang selama ini berkutat di dunia riset arkeologi. Memiliki cita-cita mulia untuk menggali nilai-nilai luhur warisan budaya bangsa.

Namun, tampaknya nilai-nilai itu belum mampu disuguhnya secara optimal sebagai modal kultural merancang arah dan membangun masa depan bangsa kita. Kita perlu merenung, bahwa apa yang kita hasilkan, secara material wujud-wujud warisan budaya masa lalu, itu ada di depan mata. 

Namun kita baru mampu mengoptimalkan manfaat material budaya masa lalu itu untuk kehidupan sekarang, itupun pada umumnya di dominasi oleh manfaat ekonomi. Situs-situs arkeologi yang ditemukan oleh para arkeolog, disuguhkan sebagai destinasi obyek wisata. Artefak-artefak budaya, disuguhkan di berbagai museum dan pameran arkeologi untuk menarik pengunjung. 

Bagaimana nilai-nilai penting kebudayaan yang terkandung di dalam artefak-artefak budaya itu, tampak belum mampu secara optimal, menjadi modal kultural kita untuk membangun masa depan bangsa. Dimana sebenarnya masalahnya? 

Dalam kacamata saya, adalah pada proses penelitiannya. Para peneliti, termasuk saya, belum mampu menangkap isu-isu besar kebudayaan, yang terkandung dalam sebaran artefak. 

Kenapa itu terjadi? karena para peneliti gagal membangun kerangka pemikiran yang besar tentang kebudayaan yang kita teliti itu sendiri. Peneliti terlalu asyik dengan dunia masa lalunya. Eh maksud saya terlalu ayik dengan isu-isu budaya masa lalu, yang sangat kronologis dan material oriented. 

Tujuan penelitian arkeologi, intinya untuk menggali nilai-nilai luhur bangsa dalam kerangka pemuliaan peradaban. Artinya,perkembangan dan kemajuan peradaban sebagai landasan pembangunan kita di masa depan.

Baca : Arkeologi Indonesia Untuk Pemuliaan Peradaban

Contoh, peneliti sangat asyik, menggali tentang jejak-jejak manusia purba, lukisan cadas dan migrasi austronesia, yang kronologis dan hanya melihatnya dalam kacamata material culture. 

Namun, tidak menangkap isu-isu kebudayaan yang besar lainnya, soal relasi-relasi yang terbangun dalam setiap zaman dalam kerangka waktu dan ruang. 

Lalu, mengabaikan bagaimana nilai-nilai kebudayaan itu mampu menjadi akar dan ruh kebudayaan yang dapat kita dayagunakan untuk modal kultural membangun masa depan bangsa, dalam artian yang konkret, terukur dan berkelanjutan. 

Pendek kata, dalam kacamata saya yang minus ini, penelitian arkeologi masih berkutat pada isu-isu kebudayaan dalam sekuen waktu kelampauannya saja, tanpa mempertimbangkan, mengoptimalkan, bagaimana pendayagunaan nilai-nilai kelampauan itu dalam kerangka masa  depan. 

Tantangan dunia riset arkeologi adalah, bahwa riset arkeologi tidak hanya merekonstruksi masa lalu, menggali nilai-nilai penting kebudayaan, namun juga menentukan arah pembangunan masa depan bangsa. 

Baca : Tantangan dan Harapan Arkeologi Indonesia dalam Pembangunan Berkelanjutan

Bahasa yang lebih gampang begini deh. Kalau sudah menemukan jejak manusia purba, baik alat maupun kerangka manusianya, para peneliti akan memplublikasikan temuannya terutama rentang waktu zaman manusia purba itu hidup dan cara-cara hidupnya. 

Rekomendasi untuk hasil penemuan itu, agar situs dilestarikan, sebagaimana seperti apa yang dibangun di Museum Sangiran, yang sangat populer itu. 

Apa yang dilakukan peneliti itu tentu saja sudah benar, sudah pada jalurnya. Namun, kacamata mata saya yang sekali lagi minus, ada saja hal yang kurang kita angkat dalam membangun narasi kebudayaan kita, jika yang mungkin berguna untuk meletakkan arah pembangunan masa depan bangsa dan kebudayaan kita. 

Yang saya pikirkan adalah, bahwa dari hasil temuan itu, secara kronologis dan cara hidup sudah terpampang jelas, juga nilai-nilai kebudayaan manusia purba itu. Pada akhirnya dibangunlah kemudian, museum yang megah. Ini contoh saja loh ya. 

Namun, bagaimana nilai-nilai kebudayan masa lalu, itu menjadi modal kultural, misalnya soal cara-cara hidup, soal survival dalam adaptasi terhadap lingkungannya, nilai-nilai budaya tentang bagaimana memanfaatkan dan mengelola lingkungan, bahkan mungkin melestarikan lingkungannya, bertahan terhadap banjir, gempa bumi dan sebagainya? 

Baca : Arkeologi, Tafsir Kebudayaan dan Keindonesiaan

Cara yang paling sederhana dari manusia di masa lampau, siapa tahu itu bisa digunakan dalam kerangka adaptasi dalam masa kini, dengan cara pandang dan perlakuan di masa kini, juga tentu saja adaptasi terhadap teknologi yang sekarang berkembang. 

Itu satu contoh kecil saja. Selain itu, artikel saya sebelumnya juga menuliskan tentang jejak migrasi asutronesia dan perkembangan kebudayaannya. Para peneliti, hampir semuanya secara mainstream menjelaskan bahwa budaya pertanian nusantara, diajarkan oleh para migran asutronesia di masa lalu. 

Itu adalah nilai-nilai budaya yang berkembang sejak masa austronesia hingga sekarang. Isu kebudayaan besar yang penting dikembangkan adalah soal, isu ketahanan pangan masyarakat masa lampau dengan kondisi kekinian. 

Saya pernah mangambil contoh kecil di wilayah Sulawesi Utara, sebaran artefak lumpang dan lesung batu, adalah mendandai bahwa ribuan tahun lalu, wilayah daratan sulawesi bagian utara, semenanjung Minahasa adalah sentra pertanian, surplus pangan, swasembada pangan, bahkan memiliki daya ketahanan pangan. 

Baca : Pengetahuan Arkeologi: Pelajaran dari Masa Lalu, Sulawesi Utara Surplus Pangan

Namun kondisi sekarang, di situs-situs lesung dan lumpang batu, banyak lahan tidur tidak tergarap. Wilayah Sulawesi Utara, bukan lagi pusat pertanian, yang di masa kerajaan sebelum masa kolonial, mengekspor komoditi pertanian hingga ke wilayah Kerajaan Banggai dan Ternate. 

Contoh itu adalah isu-isu besar kebudayaan, yang penting digali, diteliti dan dikembangkan oleh para arkeolog untuk menemukan ruh kebudayaan nusantara pada masa lampau, dalam kerangka membangun masa depan bangsa kita. Isu ketahanan pangan saat ini, merupakan isu penting yang perlu digarap.

Riset Arkeologi, Pembangunan Berkelanjutan dan Peran BRIN

Pembangunan berkelanjutan dalam kacamata arkeologi, perlu terus dikembangkan agar penelitian arkeologi, menemukan cara-cara adaptif masa lalu, yang penting dalam kerangka membangun masa depan. 

Adakah isu-isu itu terpublikasi dengan baik? Lalu kalau sudah terpublikasi, adakah nilai-nilai kelampuan itu menjadi satu pijakan dalam konteks kekinian, diadaptasi dalam cara pandang kekinian, untuk membangun narasi kebudayaan kita? 

Selain itu dalam soal regulasi, banyak hasil-hasil riset belum dioptimalkan sebagai landasan dalam kebijakan pembangunan. Pembangunan, masih berpijak pada kebutuhan sektoral dan jangka pendek, sehingga nilai-nilai kebudayaan, kerap kali diabaikan. Meskipun dalam beberapa prakteknya, dilakukan dalam kacamata yang sangat formalistis. 

Oleh karena itu, berdirinya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang konon akan menaungi lembaga-lembaga riset di tubuh kementerian, perlu disambut baik dan antusias, dalam kerangka membangun dunia riset Indonesia, yang lebih berdaya guna dan lebih optimal. Kemajuan suatu bangsa, terletak dari cara membangun pondasi kebudayaannya. 

Semua itu, digali, diekplorasi, dikaji dan dikembangkan mulai riset-riset ilmiah yang maju dan profesional. Belajar dari bangsa-bangsa yang maju, semuanya memiliki lembaga-lembaga riset yang maju dan berkembang, juga sangat profesional. Semoga, di tangan BRIN, Indonesia menjadi bangsa yang menerapkan pembangunan berdasarkan basis riset yang mumpuni. 

Demikian. Salam Hormat

Mas Han. Manado, 12 Juli 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun