Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari Ibu, Aku Mengerti Makna Pelajaran dan Perjuangan Hidup

16 November 2020   12:24 Diperbarui: 16 November 2020   12:40 1482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, Dari Ibu Aku Mengerti Makna Pelajaran dan Perjuangan Hidup. Sumber: https://www.mypurohith.com/

Hidup adalah perjuangan. Ungkapan yang sering aku dengar, sejak dulu. Namun arti perjuangan hidup pertama kalinya aku peroleh dari seorang ibu, yang berjuang sendiri membesarkan keenam anaknya, setelah suami yang juga ayah dari keenam anaknya itu meninggal dunia.

Saat itu anak yang paling besar, baru saja beranjak masuk SMA kelas 1 (satu). Aku sendiri baru memasuki umur 3 (tiga) tahun waktu itu. Seorang ibu itu adalah ibuku sendiri.

Ya, aku sedang menceritakan kisah tentang ibuku, juga sedang menceritakan bagaimana pelajaran pertama kali tentang hidup dan perjuangan itu aku peroleh dari ibuku.

Setelah ayah meninggal, maka tanggungjawab ibu sekaligus ayah bagi keenam anaknya, termasuk aku, anak kelima dari enam bersaudara itu, anak laki-laki yang paling bengal dan nakal dulu, kata ibu.

Dulu, sewaktu aku masih balita, aku tak paham bagaimana beratnya beban dan tanggungjawab ibu. Menghidupi keenam anaknya yang masih kecil-kecil seorang diri.

Menyekolahkan, hingga jadi orang seperti sekarang ini.  Yang aku tahu, dalam ingatan-ingatan masa kecilku, ibu selalu memberi kami makan, seringkali menyuapi kami, memandikan dan juga menggendong kami. Terutama tiga anaknya yang paling kecil yaitu kakak perempuanku, 5 tahun, aku sendiri yang baru 3 tahun dan adik bungsu yang baru 1 tahun, kala itu.

Kini setelah aku menjadi seorang ayah,  baru menyadari betapa beratnya beban ibu yang single parent waktu itu. Menghidupi enak anak yang masih kecil-kecil, seorang diri.

Seringkali pula, kulihat ibu memikul kayu bakar dan menanak nasi dan memasak di dapur, sedang aku kecil hanya bermain di halaman rumah, berdinding bambu, waktu itu.

Lalu, setelah itu pelajaran dan pengalaman hidup ibu mengalir dalam memoriku. Menjadi pelajaran dan juga pengalaman pertama yang aku dapat, dan menjadi pegangan sampai sekarang.

Seorang ibu yang mengajarkanku tentang pelajaran hidup dan arti sebuah perjuangan. Yang aku rasakan benar, hikmah semua pelajaran hidup dari ibu, sampai sekarang.

Aku dan Ibuku, tahun 2017. Sumber: Dokpri diolah via canva.com
Aku dan Ibuku, tahun 2017. Sumber: Dokpri diolah via canva.com

Pelajaran dan Pengalaman Hidup: Mendengar Nasehat dan Mengalami Alur Kehidupan Ibu

Pelajaran dan pengalaman hidup, justru pertama kalinya aku peroleh dari ibu. Bukan hanya dari nasehat ibu, namun aku merasakan sendiri dalam alur hidup ibu, sejak dulu hingga sekarang.

Pelajaran tentang hidup, tentang mencintai dan menyayangi, tentang tanggungjawab dan komitmen, tentang berjuang dan bertahan menghadapi banyak tantangan dan juga beban. Berbakti dan mengabdi demi masa depan orang-orang tercinta, orang tua dan anak-anaknya. Itu semua pelajaran tentang hidup kata ibuku.

Aku mendengar itu samar-samar kuingat pertama kalinya saat kudengarkan ibu bercerita di suatu malam di hari pertama setelah aku masuk sekolah. Aku pertama kalinya masuk sekolah di tingkat Sedolah Dasar (SD) setelah berumur 7 (tujuh) tahun.

Sebelumnya, aku tak pernah berniat sekolah. Ibu mengantarkan aku sekolah untuk pertama kalinya di tahun 1983. Dan ibu menungguiku sampai jam sekolah usai.

Pelajaran pertama yang aku peroleh, sebelum masuk kelas adalah, betapa seorang ibu demikian rela berkorban untuk kenyamanan anaknya. Ibu tahu, aku tak berani masuk sekolah untuk pertama kalinya kalau tak ditungguinya.

Ibu tahu, aku anak nakal dan bengal yang tak punya kepercayaan diri, karena selama ini hanya bermain di rumah. Ibu tahu, aku tak percaya diri, karena pertama kali masuk sekolah dengan sepatu bekas pemberian keluarga yang sudah tak muat dipakai.

Seorang ibu paham dan peka membaca isi hati anaknya. Ada kepekaan dan ketulusan lahir dari itu. Itulah pelajaran pertama yang aku sadari betul kala itu. Setelah itu seiring waktu aku sudah sekolah, dan lambat laun aku mengerti lebih terang benderang arti pelajaran, pengalaman dan perjuangan hidup dari  ibu.  

Pelajaran Pertama dari Ibu Tentang Hasil Tak Pernah Membohongi Proses

Tanpa ibu cerita, aku semakin paham, bagaimana pengalaman dan perjuangan ibu ketika ayah meninggal dunia, meninggalkan kami untuk selama-lamanya dalam kondisi kami berenam kakak adik masing kecil-kecil. Ibu berjuang sendiri, menjadi ibu sekaligus ayah bagi kami berenam.

Aku semakin paham, mengapa dulu ibu merelakan kakak kami tertua, dulu ikut budhe dan  tak ikut ibu, bukan karena ibu tak sayang, justru karena saking sayangnya. Ibu paham hanya dengan ikut budhe, kakak memperoleh jaminan masa depannya kelak.

Karena budhe secara ekonomi lebih mampu, menjamin sekolah dan masa depan kakak. Juga kelak menjadi orang 'gedhean' dan terpandang bagi keluarga maupun handai tolan. Semuanya harus dimulai dari proses yang baik.

Aku memperoleh pelajaran pertama kali dari keputusan ibu, pelajaran bahwa hasil tak pernah membohongi proses, jika dilakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggungjawab dan komitmen.

Pelajaran Pertama dari Ibu Tentang Mengambil Keputusan Pahit Untuk Hasil Terbaik

Pelajaran-pelajaran sederhana dari masa lalu itu, begitu kental terasa sampai hari ini. Dari situ, akupun belajar dari ibu soal mengambil keputusan. Adakalanya mengambil keputusan yang pahit.

Namun untuk kepentingan yang lebih besar dan kepentingan masa depan. Sepahit apapun kita harus ikhlas mengambil keputusan itu. Pelajaran hidup itu aku peroleh pertama kalinya dari ibu.

Juga keputusan, ketika ibu harus membawa kami kembali ke kampung halaman, meninggalkan kota dimana tempat anak-anaknya dilahirkan. Kota dimana cita-cita awal masa depan kami terukir.

Kota dimana kehidupan kami sekeluarga waktu itu begitu indah. Kota dimana kami merasa bahagia dan serba ada. Maklum, keluarga kami sebelum ayah meninggal, cukup terpandang karena kedudukan ayah waktu itu.

Kedudukan yang lumayan baik, untuk ukuran waktu itu. Namun semuanya, setelah ayah kami meninggal dunia, ibu tak mungkin bertahan di kota itu. Ibu harus berjuang mulai dari nol lagi, dengan beban dan tanggungjawab untuk kehidupan dan masa depan enam anaknya.

Pelajaran Pertama dari Ibu Tentang Saling Asah Asih Asuh Sesama Keluarga

Ibu memulai hidup baru ke kampung halaman, dimana kakek nenek, dan saudara sekandung ibu, adalah orang terdekat yang bisa diharapkan untuk saling asah asih dan asuh.

Pelajaran tentang tanggungjawab dan menjaga hubungan kekeluargaan yang lekat, adalah juga pelajaran pertama yang aku peroleh dari ibu. Pelajaran tentang bagaimana sikap antar keluarga saling perhatian dan membangun rasa persaudaraan, pelajaran yang terus selalu kuingat sampai hari-hari ini.

Pelajaran Pertama dari Ibu Tentang Pentingnya Kesederhanaan, Berjuang dan Bersyukur

Aku juga jadi paham, mengapa ibu dulu memarahi aku ketika aku mengambil jatah tempe goreng punya kakak, lauk untuk makan siang. Aku tahu, dalam kondisi ekonomi yang sulit masa itu, ibu mengelola dan berhemat sedemikian rupa.

Hidup sederhana dan apa adanya, bukan hanya tuntutan keadaan, tapi pelajaran yang sangat penting, bahwa di luar sana ada kehidupan yang lebih memprihatinkan lagi.

Aku mendapat pelajaran pertama kali dari ibu, soal betapa pentingnya hidup sederhana dan bersyukur.  Juga pelajaran tentang pentingnya berjuang untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik, dalam kondisi sesulit apapun.

Pelajaran yang diperlihatkan ibu, yaitu hidup adalah perjuangan, ketika harus mengurus kami, terutama kakak persis diatasku, aku dan adikku yang masih kecil-kecil, atau balita sambil ibu membantu jualan warung nasi alakadarnya. Soto ayam dan tempe goreng.

Warung yang cukup laris disinggahi para pedagang keliling di masa itu. Warung nasi yang menopang kehidupan kami, juga untuk biaya sekolah kami. Walaupun tidak cukup untuk jenjang sekolah yang lebih tinggi.

Namun, pelajaran dan pengalaman hidup ibu, membuat kami berjuang, termasuk saya untuk bisa sekolah dengan biaya yang diperoleh secara mandiri, hingga sekarang ini, aku menjadi seorang arkeolog yang juga dianggap sebagai birokrat, walaupun birokrat rendahan.

Capaian yang biasa saja sebenarnya, namun menjadi luar biasa, karena aku tumbuh dan berkembang dari perjuangan seorang ibu yang single parent, ketika aku baru berusia 3 (tiga) tahun.

Pelajaran dan pengalaman yang sangat berharga, bermakna yang menjadi bekal kehidupanku di masa lalu, kini dan kelak ketika aku juga sudah menjadi seorang yang renta seperti ibuku kini, yang sudah berusia 74 tahun.

Tumpuan hidup ibu buat kehidupan kami waktu itu. Semua proses berjalan dan perlahan kehidupan kami berubah. Mulai dari kakak pertama mulai bekerja, disusul yang lainnya. Kehidupan kami menjadi lebih baik, meskipun perjuangan ibu belum juga usai.

Sekolah Pertama dari Ibu, Sekolah Yang Tak Pernah Usai

Aku mendapat pelajaran pertama kali dari ibu tentang itu, tentang komitmen, cinta kasih dan tanggungjawab sebagai orang tua. Pelajaran untukku kini sebagai orang tua dari ketiga anak-anakku. Kelak, masa depan mereka adalah proses yang tercermin dari masa kini.

Semua pelajaran dan pengalaman hidup ibu, seperti sangat melekat dalam kehidupanku. Aku kecil yang bengal dan nakal, kemudian tumbuh menjadi pria dewasa. Semua ingatan tentang pelajaran dan pengalaman hidup dari ibu, seperti sekolah pertamaku.

Dan ibu, hati dan pikiran ibu adalah ruang belajar yang sangat luas. Pengalaman hidup ibu, adalah materi pelajaran sekolah pertama yang demikian sarat dengan pesan dan makna. Sekolah tentang kehidupan, inti dan induk dari semua mata pelajaran yang bisa diperoleh kapan saja.

Pelajaran dan pengalaman hidup ibu, bagiku adalah pelajaran pertama, dari proses belajar di sekolah pertama yang tak pernah usai. Sekolah pertama dari ibuku, adalah sekolah pertama sekaligus sekolah yang berisi berbagai pelajaran yang tak pernah mengenal edisi dan tak ada kata usai.

Terima kasih Ibu...

Salam Hormat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun