Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Maafkan Kami Mbah Sastro...

11 November 2020   23:00 Diperbarui: 11 November 2020   23:31 951
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, pejuang yang terlupakan. Sumber: phiscaditya.wordpress.com

Lelaki tua kurus itu bersimpuh di jalanan kota yang ramai. Lalu lalang kendaraan tak dihiraukannya. Lelaki tua itu masih saja berjalan gontai sambil memikul dagangannya. 

Sapu lidi, sapu ijuk, kemoceng dan sebagainya dalam satu pikulan, melekat di pundaknya. Wajahnya keriput tergambar perjuangan yang panjang. Juga kusam, ditempa terik matahari sepanjang hidupnya. 

Aku selalu memperhatikan lelaki itu, selalu berhenti di depan kantorku. Di sebuah trotoar dia bersimpuh, menyandarkan tubuhnya yang renta di pagar besi kantor yang beberapa bulan ini menjadi tempatku bekerja, menerima gaji dan menggantungkan hidupku dan keluarga. 

Begitu pula, bagi lelaki tua itu sepertinya. Menyandarkan tubuh rentanya tiap kali duduk bersimpuh di trotoar jalanan depan kantorku. Aku menggantungkan hidup dari gaji dari kantor itu.

Sedangakn lelaki renta itu, sekedar menyandarkan tubuh tuanya di pagar kantorku itu, menunggu belas kasihan orang yang mau membeli dagangannya. Sapu ijuk ataupun sapu lidi. 

Betapa tidak adilnya hidup ini. Aku berkata dalam hati, sambil terus memperhatikan kakek tua itu yang pandangan matanya kosong dengan sesekali tertunduk lesu, tiap kali orang melewatinya, tanpa menghiraukan apalagi membeli daganganya itu. 

Aku bekerja di ruangan ber AC, dengan sandaran kursi yang empuk dan bergaji lumayan, lebih dari cukup untuk sebulan. Belum bonus dan uang saku perjalanan dinas. Aku tinggal menikmati saja. 

Sedangkan lelaki renta itu, diterpa terik matahari pagi hingga menjelang petang. Duduk beralaskan koran, dan bersandar besi pagar berwarna gelap dan tampak jumawa. 

Lelaki tua itu sesekali rebahan, berbantal sandal jepitnya. Dan aku, selalu saja dibuat tertunduk. setiap kali melihat pemandangan itu. 

Sejak setengah tahun ini pindah kantor, baru dua bulan ini kuperhatikan lelaki tua yang setiap pagi hingga sore bersandar di pagar depan kantorku. Bersimpuh di trotoar menunggui dagangannya. 

Setiap pagi dan sore, bahkan setiap saat aku hanya melewatinya saja, tanpa memperhatikannya. Entah kenapa tiba-tiba hari ini, mata dan hatiku tergerak memperhatikannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun