"Mbah, sudah makan siang? " Aku mendekati kakek tua itu, yang terlihat lelah dan pucat itu. Langsung saja aku panggil Mbah, biar akrab saja maksudku.
"Belum pak, sebentar lagi" katanya terlihat kaget sambil menegakkan tubuh bungkuknya menjauh dari pagar.
 Kakek itu lalu, mengeluarkan bungkusan nasi dari dalam tas usangnya.Â
"Ini, saya bawa nasi dari rumah, sebentar lagi baru makan" katanya lagi
"Ngomong-ngomong bapak mau beli? silakan pak dipilih, mau sapu ijuk, sapu lidi apa kemoceng, murah kok semua harganya sama 20.000 rupiah" kata kakek itu bersemangat menawarkan daganganya.Â
Aku sebenarnya tak berniat membeli, hanya ingin memberinya uang atau membelikannya nasi bungkus untuk makan siangnya. Tapi tak mungkin aku menolak tawarannya untuk membeli.Â
"Iya mbah, boleh saya beli kemocengnya satu" kataku sambil memberinya uang selembar seratusan ribu rupiah.Â
"Waduh, bapak pembeli pertama siang ini, saya gak punya kembalian pak, ada uang pasnya pak? berkata kakek tua itu dengan raut wajah cemas.Â
" sudah Mbah, itu sudah pas, itu uang pas, tidak usah dikembalikan" kataku sambil tersenyum.
Kakek tua renta itu tampak kegirangan, wajahnya yang keriput tampak berseri dan senyumnya cerah, meski dalam bayang kusam perjalanan hodupnya yang tampak melelahkan. Saking girangnya, diciumnya uang seratusan ribu rupiah itu.Â
"Terima kasih pak, terima kasih" kata kakek tua itu sambil membungkukkan badannya yang sudah bungkuk.Â
"Sudah Mbah, sama-sama, saya terima kemocengnya ya" kataku sambil mengambil kemoceng dagangan kakek tua itu.Â