Mohon tunggu...
Wulan Ramdani
Wulan Ramdani Mohon Tunggu... Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Mataram

Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Mataram

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tradisi Kalondo Wei di Bima NTB

7 Juni 2024   08:35 Diperbarui: 7 Juni 2024   08:37 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 sumber gambar: Facebook.com/Macarucaru

BIMA NTB- Tradisi pernikahan di Bima, NTB sangatlah beragam salah satu nya adalah prosesi yang biasanya berlangsung setelah salat Isya, dimana calon bunti siwe (calon pengantin perempuan) dijemput dari rumahnya dan diarak keliling kampung menggunakan Pabule atau sebuah usungan berbentuk segi empat mirip dengan kursi singgasana dan di tandu oleh pihak keluarga atau sanak saudaranya. Dalam prosesi ini calon mempelai wanita menggunakan pakaian adat Bima, di turunkan (kalondo) dari atas rumah orang tuanya dan di usung ke Uma Ruka (rumah penganten). Dimeriahkan dengan atrasi jiki hadra (zikir hadra) yang diiringi musik rebana. Hadrah rebana adalah atraksi kesenian musik tradisional khas Bima musik ini berisi dzikir dan salawat. Tradisi arak keliling itu dikenal dengan sebutan KALONDO WEI.

Kalondo Wei berasal dari dua kata dalam bahasa Bima: "Kalondo" yang berarti menurunkan dan "Wei" yang berarti istri. Dalam konteks tradisi pernikahan, Kalondo Wei merupakan prosesi penjemputan calon pengantin perempuan oleh keluarga calon pengantin laki-laki dari rumahnya menuju Uma Ruka (rumah pengantin). Tradisi Kalondo Wei telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Pada masa lalu, tradisi ini merupakan bentuk penghormatan kepada perempuan yang akan memasuki kehidupan berumah tangga. Dalam masyarakat Bima, pernikahan dianggap sebagai

tahap sacral dan penting dalam kehidupan yang membutuhkan kesiapan mental dan fisik. Kalondo Wei adalah simbol dari transisi tersebut, di mana seorang perempuan tidak lagi berada di bawah naungan orang tuanya tetapi akan memulai kehidupan baru bersama suaminya.
Salah satu wilayah yang masih melestarikan Kalondo Wei yakni di Kota Bima, lebih khususnya warga di Kecamatan Raba, Kelurahan Penanae, hingga Kecamatan Asakota. "Tradisi Kalondo Wei masih dijalani oleh warga Penanae. Saat akan menikah, calon pengantin akan menjalani prosesi ini (kalondo wei)," ucap Ina Mene salah seorang warga Penanae.

Menurut Ismail, yang juga penduduk setempat, prosesi Kalondo Wei di Bima berbeda-beda tergantung pada kemampuan keluarga yang melaksanakan pernikahan. Kalondo Wei biasanya digabungkan dengan peta kapanca untuk calon pengantin perempuan. "Kalondo Wei harus bersama dengan peta kapanca. Namun, sesuai kemampuan, ada juga yang hanya menjalani Kalondo Wei saja atau peta kapanca saja," ujarnya.
Pelaksanaan Kalondo Wei dimulai dengan persiapan yang matang. Pakaian adat Bima yang dikenakan oleh calon pengantin perempuan biasanya berwarna cerah dan dihiasi dengan motif- motif khas. Pabule, usungan yang digunakan, juga dihias dengan kain dan bunga-bunga agar tampak lebih indah dan megah. Selama prosesi, calon pengantin perempuan akan ditemani oleh keluarga dan kerabat dekat yang berjalan mengiringi usungan tersebut.

Setelah turun dari rumah orang tuanya, calon pengantin perempuan diarak keliling kampung. Ini bukan sekadar parade, tetapi juga simbol dari penyampaian kabar bahagia kepada seluruh masyarakat tentang pernikahan yang akan berlangsung. Warga kampung yang menyaksikan prosesi ini biasanya turut memberikan doa dan restu kepada calon pengantin. . Biasanya pengantin Perempuan di arak dan di guncang-guncangkan sebagai symbol bahwa pengantian Perempuan setelah menjadi seorang istri harus bisa menahan dan menangini badai permasalahan dan ujian rumah tangganya nanti.

Selama arak-arakan, suara hadrah rebana yang berisi dzikir dan salawat mengiringi langkah demi langkah. Nyanyian ini memberikan suasana religius dan sakral pada prosesi, mengingatkan semua orang akan pentingnya doa dan berkah dalam setiap langkah hidup, terutama dalam memasuki babak baru seperti pernikahan. Suara rebana yang menggema dan lantunan salawat yang syahdu

menambah keagungan prosesi ini. Semua yang hadir seolah diajak untuk turut merasakan kebahagiaan dan harapan baru bagi pasangan yang akan menikah.
Setibanya di Uma Ruka, rumah pengantin yang telah disiapkan, calon pengantin perempuan akan disambut dengan berbagai ritual lain seperti upacara rias dan peta kapanca. Peta kapanca sendiri adalah ritual pemasangan pacar atau inai pada kuku calon pengantin, yang melambangkan kesucian dan kecantikan. Ini merupakan momen yang sangat penting karena menandakan kesiapan dan kedewasaan calon pengantin perempuan untuk menjadi seorang istri. Prosesi ini juga menandai bahwa calon pengantin perempuan telah siap untuk menjalani kehidupan baru dan bertanggung jawab atas peran barunya sebagai istri dan, kelak, sebagai ibu. Ritual ini disaksikan oleh keluarga besar dan para tetua adat, yang memberikan restu dan doa agar pernikahan yang akan dilangsungkan membawa kebahagiaan dan berkah.

Kalondo Wei bukan hanya sebuah prosesi pernikahan, tetapi juga sarat dengan nilai-nilai luhur yang menjadi dasar kehidupan masyarakat Bima. Salah satu nilai utama yang terkandung dalam tradisi ini adalah kebersamaan dan gotong royong. Keterlibatan banyak orang dalam prosesi ini menunjukkan betapa pentingnya solidaritas dan dukungan sosial dalam budaya Bima. Selain itu, Kalondo Wei juga merupakan bentuk penghormatan kepada orang tua dan leluhur. Dalam prosesi ini, kehadiran keluarga besar dan tetua adat memberikan makna yang mendalam tentang pentingnya menghormati dan menghargai generasi sebelumnya yang telah menjaga dan mewariskan tradisi ini.

Di tengah arus modernisasi, menjaga kelestarian tradisi seperti Kalondo Wei menjadi tantangan tersendiri. Generasi muda yang lebih banyak terpapar budaya luar terkadang menganggap tradisi ini kuno dan tidak relevan lagi. Namun, masih banyak keluarga di Bima yang berusaha mempertahankan dan melestarikan tradisi ini.
Pelestarian tradisi ini tidak hanya menjadi tanggung jawab keluarga, tetapi juga masyarakat dan pemerintah daerah. Pengenalan Kalondo Wei dalam berbagai acara budaya, festival, dan pendidikan di sekolah-sekolah dapat membantu memperkenalkan tradisi ini kepada generasi muda. Selain itu, dokumentasi dan penelitian tentang Kalondo Wei juga penting untuk menjaga agar tradisi ini tetap hidup dan dikenal luas. Media massa, memiliki peran penting dalam

pelestarian tradisi seperti Kalondo Wei. Dengan publikasi yang tepat, tradisi ini dapat dikenal lebih luas dan diapresiasi oleh berbagai kalangan. Laporan tentang prosesi Kalondo Wei dalam acara pernikahan dapat menarik minat wisatawan dan pecinta budaya untuk datang dan menyaksikan langsung keunikan dan keindahan tradisi ini.

Selain itu, platform digital seperti media sosial juga bisa menjadi alat yang efektif untuk memperkenalkan Kalondo Wei kepada generasi muda. Melalui foto, video, dan cerita yang dibagikan secara online, tradisi ini bisa mendapatkan tempat di hati banyak orang. Kalondo Wei adalah salah satu kekayaan budaya Bima yang patut dihargai dan dilestarikan. Melalui tradisi ini, kita dapat melihat betapa kaya dan beragamnya warisan budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kalondo Wei bukan hanya prosesi dalam pernikahan, tetapi juga cerminan nilai-nilai luhur yang mengajarkan tentang kebersamaan, penghormatan, dan kesiapan dalam menjalani kehidupan baru.

Kalondo Wei adalah tradisi pernikahan yang kaya dengan makna dan nilai-nilai luhur yang mencerminkan kekayaan budaya masyarakat Bima. Prosesi ini bukan hanya sekedar ritual, tetapi juga simbol transisi, kebersamaan, dan penghormatan terhadap leluhur. Melalui upaya bersama dari keluarga, masyarakat, pemerintah, dan generasi muda, tradisi ini dapat terus dilestarikan dan diwariskan kepada generasi mendatang. Harapan ke depan, Kalondo Wei akan tetap menjadi bagian penting dari identitas budaya masyarakat Bima. Generasi muda diharapkan dapat memahami dan menghargai warisan budaya ini, serta berperan aktif dalam melestarikannya. Dengan demikian, tradisi Kalondo Wei tidak hanya akan menjadi kenangan masa lalu, tetapi juga akan terus hidup dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun