"Kamu itu sama aja ya kayak cowok lainnya," ucap sang puan diseberang meja sembari mengerutkan dahinya. Aku hanya menatapnya dengan tatapan yang sama---lelah dan frustasi---sembari berusaha menyusun kata dalam pikiran yang kosong melompong.
"Kamu bisa mikir gak sih sebenarnya? Aku tuh capek!" Kini wanita cantik dengan alis tebal yang selalu ku sanjung-sanjung kemolekannya menaikan nada suaranya setinggi bangunan restoran bintang lima yang selalu kami datangi setiap perayaan hari jadi.
Netraku berpaling sepersekian detik untuk menatap jam tangan kulit di tangan kiri ku---pekerjaan ku sebagai seorang budak kapitalis memaksaku menulis setiap saat---jam ternyata sudah menunjuk ke pukul sepuluh malam.
"Tuh 'kan... Kamu selalu aja ngecek jam. Kamu udah bosen ya jalan sama aku?" tanyanya dengan nada menuduh---meskipun dia tak akan pernah mengakuinya---sembari menatapku.
Aku harus menahan diri dari menghela napas; karena dia pasti menganggap itu sebagai sikap yang kasar. "Aku sibuk," jawabku singkat. "Atasanku udah ngomel-ngomel soal kerjaan kemarin. Besok juga aku harus siapin meeting---"
"Oh, jadi sekarang kerjaan lebih penting dari aku?" Damn it. Can this girl shut up at least for once? I swear to God I'll---
"Fine. Aku mau pulang sekarang. Kalo kamu masih beneran cinta sama aku, temuin aku di rumah besok malem." Mata lelahku terbuka lebar sedikit saat wanita itu memilih beranjak dan meninggalkan meja yang telah aku reservasi dengan susah payah.
Pandanganku mengarah ke makanan yang sudah jadi dingin. Sembari menghela napas yang se dari tadi aku tahan, tanganku merogoh ke saku celanaku dan meraih sekotak rokok dengan sisa beberapa batang didalamnya.
Rokok itu terhimpit antara bibirku sebelum ujungnya ku bakar. Tiap hirupan, tiap hembusan, aku tak sadar jam ternyata bergerak ke jam sebelas tanpa kehendak ku. Putung rokok bekas yang ke-lima itu aku injak dibawah sepatu kulitku sebelum aku beranjak pergi.
------------------
Aku tak pahan mengapa aku berujung sampai disini. Setelah seharian aku harus menghadapi si atasan keparat itu, kini aku harus siap dijadikan samsak kemarahan dari wanita yang sering ku sebut sebagai milikku.