Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini telah menerbitkan 29 judul buku, 17 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Yang terbaru adalah novel Elang Menoreh: Perjalanan Purwa Kala (terbit 1 November 2018) terbitan Metamind, imprint fiksi dewasa PT Tiga Serangkai.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Apakah Pengarang Teenlit Harus ABG Juga?

2 Mei 2016   21:17 Diperbarui: 2 Mei 2016   23:56 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dan sebagaimana bidang keahlian seni lain, menulis juga butuh kecerdasan dan kematangan agar bisa mengasilkan karya yang berbobot. Itu tentu saja agak susah diharap bakal muncul dari penulis yang masih anak-anak—kecuali sebagian kecil yang berjenis wonderkid. Cerdas tok mungkin bisa, namun kematangan adalah hasil tempaan pengalaman dan proses belajar.

Karenanya, yang terjadi biasanya adalah polarisasi. Karya-karya teen romance dari para pengarang remaja digandrungi remaja namun diemohi kalangan generasi yang lebih senior. Content-nya dekat dengan dunia remaja namun kurang menghadirkan message yang layak ditelan. Sebaliknya, novel-novel YA karya para penulis senior diacungi jempol sesama senior karena keampuhan kualitas tema dan problematikanya, namun membikin dahi para ABG berkerut karena kerap dianggap terlalu membosankan, tidak lincah dan seksi.

Either way, hal apa pun yang membentuk fiksi sebenarnya bukanlah benda keramat. Sebagaimana kalau kita bisa saja (atau mau) lintas bidang dalam hal tema permasalahan cerita, hendak melakukan lintas senioritas generasi pun sah-sah saja. Memangnya kenapa jika penulis usia 40-an atau 50-an menulis roman remaja? Itu hanyalah pekerjaan, soal teknis, dan sama sekali tak berkaitan atau tak perlu dihubung-hubungkan secara personal dengan latar belakang diri.

Sekali lagi, imajinasi akan menjembatani semua perbedaan, semua jarak. Hal-hal lain yang kurang dimengerti karena perbedaan generasi adalah sama saja dengan hambatan yang dialami seorang Dan Brown yang pernah jadi musisi dan penyanyi ketika hendak menyusun karakter Robert Langdon yang seorang simbolog—tinggal diriset untuk mengumpulkan informasi sebanyak mungkin.

Dan sebaliknya, para pengarang muda pun tentu bisa pula menulis cerita tentang orang-orang dewasa yang berusia jauh lebih senior. Ada kendala lebih gede tentu, berhubung belum pernah mengalami. Namun akurasi hanyalah soal teknis, yang bisa dirampungkan dengan cara yang sama, yaitu riset dan wawancara. Hambatan terbesarnya tak beda dari masalah penulis senior yang ingin menulis cerita remaja, yaitu “ora pantes” atau merasa tak pantas lagi.

Pada dasarnya, ketika pekerjaan dipandang murni sebagai pekerjaan, dan soal teknis semata soal teknis, maka tak ada batasan untuk berkelana ke mana saja. Toh menulis adalah kerja mental, bukan fisik. Dan dalam era digital seperti sekarang ini, riset pun lebih ke pekerjaan mental juga—bisa cukup sebatas Google dan Wikipedia. Tak perlu yang harus pakai traveling ke mana gitu, atau nongkrong di depan SMA untuk mengintip pola kehidupan ABG. Ntar bisa-bisa malah dikiran stalker!

Kita bahkan bisa berangkat cukup bermodal imajinasi. Lalu nanti setelah keseluruhan cerita jadi, tinggal melakukan fact and reality test, untuk tahu seberapa tepat olahan imajinasi kita dengan dunia real yang ada. Seharusnya, kalau “tenaga dalam” imajinasi kita ampuh, hasilnya tak akan berselisih jauh. Kalaupun ada gap, tak akan terjebak jadi tak logis, melainkan justru malah menciptakan realitas alternatif yang memperkaya.

Nah, berani mencoba?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun