Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini telah menerbitkan 29 judul buku, 17 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Yang terbaru adalah novel Elang Menoreh: Perjalanan Purwa Kala (terbit 1 November 2018) terbitan Metamind, imprint fiksi dewasa PT Tiga Serangkai.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Mengenal "Artificial Law" dalam Cerita Nonrealis

4 November 2015   18:16 Diperbarui: 4 November 2015   20:00 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adanya persyaratan untuk membuat Artificial Law menjadikan genre fantasi dan sci-fi punya tingkat kesulitan lebih tinggi daripada genre drama, romance, melodrama, komedi romantis, dan bahkan kriminal serta thriller politik sekalipun. Pada cerita-cerita realis, payung hukumnya sudah ada, dan tinggal diambil lewat riset. Sedang pada genre fantasi dan sci-fi, “payung hukum” sebab-akibat itu harus diciptakan dulu sebelum cerita mulai ditulis.

Dan itu harus total dikerjakan dulu, agar nanti saat nulis tidak bolak-balik antara melanjutkan cerita dengan menambah serta menambal bolong-bolong keseluruhan hukum yang berlaku. Bayangkan proses kreatif JRR Tolkien saat menulis serial The Lord of the Rings. Ketika tulisannya sampai pada bagian Frodo cs. tiba di Rivendell dan bertemu makhluk Elf, ia harus balik lagi ke catatan latar belakang untuk menambahkan deskripsi soal Elf, situasi alam Rivendell, plus rute perjalanan dari kampung Hobbit ke sana.

Akan lebih praktis apabila seluruh catatan soal klasifikasi makhluk-makhluk fantasi, deskripsinya, bahasanya, custom-nya (budaya dan adat istiadatnya), keadaan alam dan iklim tiap tempat di Middle Earth, dan bahkan peta Middle Earth, semua selesai digarap sebelum cerita masuk Bab 1 atau Prolog. Nanti baru saat menulis dan tiba di titik-titik penting, semua tinggal dikonsultasikan ke catatan.

Dan yang sulit dari cerita nonrealis adalah bahwa semua hukum sebab-akibat, tema pembahasan, dan deskripsi segala sesuatu, mayoritas harus kita cipta sendiri. Tolkien bahkan sampai segitunya membuat peta rinci kawasan Middle Earth dan bahasa-bahasa semua suku dan kaum di sana.

Semua bahasa warga Middle Earth itu jelas adalah fiktif—murni rekaan dia sendiri—namun bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena masing-masing memiliki sistem pelafalan dan grammar yang saintifik. Bisa sungguhan dipraktikkan (kalau mau). Tak aneh karena dia adalah seorang guru besar linguistik. Bahasa fiktif yang ilmiah juga ada di serial A Game of Thrones karangan George RR Martin.

Dengan Hukum Buatan, kita akan dapat memaparkan tema pembahasan sedetail dan semeyakinkan sebagaimana yang kita lakukan di cerita-cerita realis. Fungsi kedua adalah untuk menentukan sistem logika berpikir yang berlaku berdasarkan kaidah hukum sebab-akibat fiktif yang kita ciptakan sendiri.


Dalam Artificial Law yang menaungi seluruh semesta khayalan di franchise Star Trek dikatakan terdapat wahana teknologi asing yang bisa membuat perjalanan ratusan tahun cahaya bisa ditempuh dalam waktu singkat. Saat wahana itu rusak, kapal bintang USS Voyager harus terbang “manual” dan baru bisa tiba di Bumi dalam 76 tahun. Itu menjadi premis serial Star Trek: Voyager yang mengudara tahun 1995-2001.

Hukum Buatan yang kita kerjakan sebelum mulai menulis cerita nonrealis mengatur pula fungsi ini. Jadi hanya karena genrenya khayal, tak lantas kita sebagai penulis bebas merdeka untuk membolak-balik logika tanpa ukuran dan standar. Setelah lulus di mapel logika pada cerita realis, tingkat berikut yang lebih tinggi adalah logika cerita nonrealis.

Beberapa waktu lalu aku pernah terlibat diskusi dengan seorang teman novelis saat aku menulis tentang perlunya logika dalam cerita fiksi. Ia mengungkap, Franz Kafka atau Haruki Murakami sering menulis cerita yang tak logis, tapi tetap oke. Saat aku membaca sinopsis novel kedua pujangga itu,  baru ketahuan bahwa karya mereka bukannya tak logis, melainkan tak realis. Dunia latar di 1Q84-nya Murakami adalah sebuah kenyataan alternatif (alternative reality) di Tokyo yang dialami tokoh utamanya, Aomame.

Sekali lagi, ada beda jelas antara nonrealis dangan illogical. Aku belum baca karya Murakami itu, tapi aku yakin ia telah membangun Artificial Law yang kuat di dalamnya, dan semua konsep di situ sudah sesuai dan logis dengan hukum buatan yang ia create sendiri. Maka meski alam ceritanya tidak realistis, konstruksi ceritanya akan menjadi sangat logis. Kita bicara tentang semesta logika. Beda genre cerita, beda juga sistem pemahaman logikanya.

Dalam jenis cerita nonrealis, kekuatan konsep menentukan segalanya. Selain itu, konsep-konsep tersebut juga harus orisinal. Middle Earth, sekolah sihir, portal ke Narnia lewat lemari pakaian, masyarakat yang dibagi dalam lima faksi (Abnegation, Amity, Candor, Dauntless, dan Erudite)—semua adalah barang baru yang belum pernah ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun