Mohon tunggu...
Windi Meilita
Windi Meilita Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Content Writer

Introvert muda yang senang menghabiskan waktu di kamar sambil scroll layar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Terminal 03, Tentang Jualan

16 April 2024   15:38 Diperbarui: 16 April 2024   15:40 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mbak kamu terlalu banyak berpikir, terlalu mudah khawatir dan gampang nyerah. Coba tanya sekali lagi ke diri kamu, kenapa kamu tetap mikirin itu padahal kamu tau resikonya?"

Aku diam nggak berani jawab pertanyaan Bu Sulas. Diam-diam pertanyaannya bikin aku bertanya-tanya sendiri, kenapa aku tetap penasaran dengan jualan padahal aku tau kalo aku nggak mampu jualan. Tapi aku ngga nemuin jawabannya.

"Mbak maaf kalo ibu salah menilai. Menurut ibu, kamu ngerasa kamu mampu jualan, dan ibu percaya kamu memang mampu. Masalahnya kamu terlalu cepat nyerah. Kalo kamu terlalu cepat menyerah, kamu nggak bisa mengontrol diri kamu saat punya uang. Kalau dibiarin, kamu bakal ngelakuin segala cara buat bisa dapat uang lebih. Dan itu salah."

Aku tetap diam.

Di luar ekspektasi, aku datang ke sini dengan niat ingin mencari jawaban apa menariknya jualan tapi obrolan kami justru menggiringku pada pencarian jawaban yang lain. Mulai dari pertanyaan Bu Sulas tentang aku yang tetap memikirkan jualan padahal aku pesimis untuk berjualan.

Dan ternyata masalahnya ada pada diriku sendiri.


"Mbak, coba lihat jam segini warung ibu cuman kamu yang beli tapi warung lain udah ramai pembeli. Kenapa bisa gitu? Kenapa warung ibu ramainya cuman di jam tertentu tapi warung lain bisa ramai sepanjang buka?" tanya Bu Sulas lagi. Pun pertanyaannya kali ini tetap nggak bisa kujawab.

"Karena jatah ibu memang segini mbak. Bukan karena makanan ibu nggak enak, atau ibu nggak laku. Tapi memang jatahnya segini dan ini cukup untuk ibu, anak-anak ibu. Uang, rezeki itu semua sudah diatur. Jangan terlalu banyak berpikir, mulai aja dulu, siapkan semuanya dan bersikaplah layaknya orang jualan."

Aku ingin menjawab, tapi sudah terlanjur ditutup oleh Bu Sulas "jangan tapi tapi lagi. Mulai dari sekarang, visualisasikan kebutuhan kamu. Entah apapun itu. Visualkan.  Kerja. Lakukan apapun yang kamu bisa untuk hasilkan uang. Niatkan cari berkah dan memanfaatkan waktu. Selesai. Sekarang bayar dan siapkan diri kamu. Datang lagi saat keadaanmu sudah berubah."

Aku menurut saja karena sepertinya Bu Sulas ngga butuh jawaban dariku. Jadi aku mengeluarkan uang sesuai harga makanan yang kupesan dan menerima kembaliannya.

"Inget mbak, cukup visualkan aja bukan dikejar. Tugas kamu cuman berusaha semaksimal mungkin biar waktu dan idemu ngga sia-sia. Soal hasil bukan kamu yang menentukan. Gitu terus sampai apapun yang kamu inginkan tercapai. Paham!" Bu Sulas memegang tanganku erat sekali, sambil menatap mataku tanpa keraguan. Kalau dipegang, ditatap dan dinasehati dengan cara seperti ini, anak mana yang nggak nurut?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun