Mohon tunggu...
Windi Meilita
Windi Meilita Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Content Writer

Introvert muda yang senang menghabiskan waktu di kamar sambil scroll layar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Terminal 03, Tentang Jualan

16 April 2024   15:38 Diperbarui: 16 April 2024   15:40 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orang jualan di terminal (pexels.com/Ronny Siegel)

Apa yang menarik dari jualan?

Pertanyaan ini sering mampir di pikiran lalu pergi lagi, tapi belakangan ini intensitas mampirnya semakin tinggi.

Sepertinya aku agak tertarik dengan jualan, entah karena kegiatannya, profesinya, fleksibilitas kerjanya atau hal lain yang masih belum aku ketahui alasannya. Tapi, ini nggak bisa disebut sepenuhnya tertarik karena aku pernah gagal jualan. Aku gagal di bulan pertama.

Atau bisa juga karena profesi ini terasa sangat akrab untukku, di terminal banyak orang berjualan. Sebenarnya bukan sekedar banyak, tapi di terminal memang tempat orang berjualan. Terminal memang bukan pasar, tapi siapa yang nggak tertarik jualan di terminal?

Seandainya orang tuaku dapet tawaran jualan di terminal, mungkin mereka akan menerimanya dengan suka cita. Terminal seperti pusat kehidupan masyarakat. Tempat ini mempertemukan orang dari berbagai desa. Nggak ada yang nggak laku di tempat ini.


Aku pernah ngobrol dengan seorang penjual balon karakter yang biasanya dibeli anak-anak. Ia datang setiap jam 10 pagi dan pulang jam 5 sore. Jadwalnya sangat teratur dan nggak pernah sekalipun ia molor dari jam pulangnya.

Saat itu aku penasaran, kenapa memilih balon karakter untuk dijual, padahal jarang sekali ada orang tua yang mengizinkan anaknya beli balon. Apalagi kalau mereka menempuh perjalanan jauh menggunakan bus, mungkin akan sangat riweh mengurus anak sambil mengurus balon di perjalanan.

Kuberanikan diri untuk bertanya, sambil berpikir apakah ini keputusan yang tepat? Aku belum pernah sengaja ngobrol dengan orang asing. Apalagi mempertanyakan pekerjaan mereka. Ini seperti orang asing mempertanyakan pekerjaanku, kenapa memilih freelance writer, padahal ada banyak pekerjaan lain.

Kuberanikan diri dan sepertinya bapak penjual balon karakter ini nggak keberatan.

"Awalnya karena modalnya cuman cukup untuk jualan balon karakter mbak. Saya juga dulunya ragu, tapi ternyata rezekinya justru di sini. Sudah 10 tahun saya jualan."

Percakapan kami selanjutnya mengalir begitu saja karena bapak penjual balon karakter ini mau menjawab semuanya. Ia menjelaskan bagaimana awal mula berjualan sampai akhirnya punya satu ruko khusus balon karakter di pasar. Hari ini ia sudah bisa mempekerjakan 10 orang.

Bapak penjual balon karakter menitipkan satu pesan sebelum aku pergi, "jualan itu prosesnya nggak instan mbak. Saran saya kalo mbak mau jualan, cari yang modalnya nggak terlalu besar. Apalagi kalo jualan cuman jadi sambilannya mbak."

Aku menikmati obrolan singkat ini dan sepertinya aku ingin melanjutkannya lagi dengan pedagang lain. Menurut info dari bapak penjual balon karakter tadi, setiap pedagang di terminal sudah saling mengenal. Kalo lagi jualan memang kayak ngga saling kenal karena semuanya harus fokus dengan pekerjaan masing-masing.

Selanjutnya aku memilih pedagang makanan. Kebetulan aku belum sarapan. Menu yang paling terkenal di terminal ada soto ayam kampung. Warung ini selalu ramai. Orang yang makan soto ayam kampung datang dari mana-mana. Popularitasnya hampir setara dengan terminal atau mungkin lebih populer dari terminal, dan jelas bukan ini pilihanku.

Di terminal ada banyak aneka makanan, ada soto ayam kampung, soto santan, soto kuah bening, mie ayam, bakso, nasi goreng, gorengan, gado-gado, pecel, martabak, ketoprak, karedok dan lainnya. Makanan yang kupilih? Jelas yang tokonya paling sepi. Aku bukan sekedar ingin sarapan, aku ingin mengobrol dan menemukan jawaban, apa menariknya jualan.

Aku berjalan menuju warung mie ayam. Katanya mie ayam di sini enak tapi hanya ramai saat jam makan siang, kalau pagi yang ramai bangsa soto-sotoan, dan paling ramai soto ayam kampung.

"Sudah lama jualan di sini bu?" tanyaku sembari menunggu pesanan dibuatkan. Sepertinya aku masuk ke warung yang tepat lagi. Ibu penjual mie ayam ini sangat ramah. Ia menjawab semua pertanyaanku tanpa merasa risih karena aku banyak tanya. Namanya Bu Sulas

Dari obrolan kami sepanjang aku sarapan di warung ini, aku jadi tau kalo Bu Sulas adalah orang tua tunggal. Ia punya 2 anak yang keduanya masih sekolah, satu SMP satu lagi SMA. Keduanya kadang bantu-bantu di warung, tapi Bu Sulas lebih senang kalau anaknya belajar daripada bantu-bantu.

"Justru saya yang melarang mereka ke sini mbak. Saya ngga mau mereka jadi kayak saya. Jadi dari kecil sudah harus dibiasakan hidup yang beda dari ibunya."

Selanjutnya aku jadi tau kalau kedua anaknya bersekolah di SMP dan SMA swasta. Bu Sulas memilihkan sekolah terbaik dan memenuhi seluruh kebutuhan kedua anaknya. Keduanya pun dibiarkan ikut kegiatan ekstrakurikuler sekolah, padahal daftarnya saja sudah mahal.

"Harus terbiasa begitu mbak. Pikiran mereka harus setara dengan saingannya biar bisa bersaing. Saya paham resikonya, tapi ini pilihan saya. Untungnya saya jualan mbak, jadi penghasilannya kadang naik, kadang cukup. Sisanya ya pinter-pinter saya ngatur keuangan di rumah."

Sejujurnya aku belum menanyakan alasan Bu Sulas memilih jualan, tapi dilihat dari kemampuannya membiayai dua anak sepertinya jualan memang pilihan terbaik. Apalagi untuk kategori orang tua tunggal.

Bu Sulas masih melanjutkan ceritanya, tentang suaminya yang meninggal 2 tahun lalu, tabungan pendidikan anak yang sudah mereka siapkan sejak sebelum menikah dan usaha jualan mie ayam yang ia jadikan satu-satunya sumber pencaharian saat ini.

"Warung ini sangat berarti untuk saya mbak. Anak-anak saya mungkin asing sama tempat ini, tapi semua usaha dan kenangan saya ada di sini. Saya bersyukur bisa jualan di sini."

Lalu, sambil menunggu isi perut turun, aku ceritakan tentang rasa penasaranku dan keinginan berjualan. Aku juga menceritakan ketakutanku seandainya nggak ada yang beli gimana atau aku harus mulai dari menjual apa. Aku ceritakan semuanya termasuk keadaanku sebagai freelance writer yang masih melek merem.

Katanya, "jualan itu lebih sulit dari kelihatannya mbak. Kalo pikiran tentang jualan itu muncul di kamu, artinya memang ada kesempatan untuk kamu jualan mbak. Kamu tinggal mewujudkannya ke dunia nyata. Inget lho, ide itu mahal."

"Tapi saya nggak punya pengalaman apa-apa bu, saya juga ngga punya teman."

"Nah itu alasan kenapa kamu masih belum punya pengalaman mbak. Kuncinya ada di kamu. Kalo kamu sudah dikasih ide untuk mulai jualan tapi kamu tetap nggak jualan juga, ya sia-sia idenya mbak."

Aku lalu menjelaskan semua alasan lain yang cukup meyakinkan, seperti waktu yang terbatas, nggak ingin ketahuan orang tua dan nggak punya modal yang cukup.

Aku juga menjelaskan mengenai perkembangan teknologi digital yang menjadikan banyak orang berpromosi secara online. Saingan penjualan dimana-mana. Aku khawatir ngga mau bersaing dan justru menjadi kuburan sendiri untuk karirku.

Sebelum Bu Sulas menjawab, kujelaskan sekali lagi tentang aku yang pernah mencoba jualan online tapi gagal. Aku ngga berhasil dapet pelanggan. Satu bulan aku promosi, belum pernah sekalipun aku dapat pelanggan. Saat itu aku mulai berpikir kalau jualan bukan jalanku. Semua orang punya jalannya masing-masing, tapi sepertinya jualan bukan jalanku.

Bu Sulas diam mendengarkan semuanya sampai akhir. Lalu membuang nafas sebentar. Mungkin aku pun akan melakukan hal yang sama jika ada orang yang ngotot ingin jadi freelance writer tapi nggak mau nulis.

"Mbak kamu terlalu banyak berpikir, terlalu mudah khawatir dan gampang nyerah. Coba tanya sekali lagi ke diri kamu, kenapa kamu tetap mikirin itu padahal kamu tau resikonya?"

Aku diam nggak berani jawab pertanyaan Bu Sulas. Diam-diam pertanyaannya bikin aku bertanya-tanya sendiri, kenapa aku tetap penasaran dengan jualan padahal aku tau kalo aku nggak mampu jualan. Tapi aku ngga nemuin jawabannya.

"Mbak maaf kalo ibu salah menilai. Menurut ibu, kamu ngerasa kamu mampu jualan, dan ibu percaya kamu memang mampu. Masalahnya kamu terlalu cepat nyerah. Kalo kamu terlalu cepat menyerah, kamu nggak bisa mengontrol diri kamu saat punya uang. Kalau dibiarin, kamu bakal ngelakuin segala cara buat bisa dapat uang lebih. Dan itu salah."

Aku tetap diam.

Di luar ekspektasi, aku datang ke sini dengan niat ingin mencari jawaban apa menariknya jualan tapi obrolan kami justru menggiringku pada pencarian jawaban yang lain. Mulai dari pertanyaan Bu Sulas tentang aku yang tetap memikirkan jualan padahal aku pesimis untuk berjualan.

Dan ternyata masalahnya ada pada diriku sendiri.

"Mbak, coba lihat jam segini warung ibu cuman kamu yang beli tapi warung lain udah ramai pembeli. Kenapa bisa gitu? Kenapa warung ibu ramainya cuman di jam tertentu tapi warung lain bisa ramai sepanjang buka?" tanya Bu Sulas lagi. Pun pertanyaannya kali ini tetap nggak bisa kujawab.

"Karena jatah ibu memang segini mbak. Bukan karena makanan ibu nggak enak, atau ibu nggak laku. Tapi memang jatahnya segini dan ini cukup untuk ibu, anak-anak ibu. Uang, rezeki itu semua sudah diatur. Jangan terlalu banyak berpikir, mulai aja dulu, siapkan semuanya dan bersikaplah layaknya orang jualan."

Aku ingin menjawab, tapi sudah terlanjur ditutup oleh Bu Sulas "jangan tapi tapi lagi. Mulai dari sekarang, visualisasikan kebutuhan kamu. Entah apapun itu. Visualkan.  Kerja. Lakukan apapun yang kamu bisa untuk hasilkan uang. Niatkan cari berkah dan memanfaatkan waktu. Selesai. Sekarang bayar dan siapkan diri kamu. Datang lagi saat keadaanmu sudah berubah."

Aku menurut saja karena sepertinya Bu Sulas ngga butuh jawaban dariku. Jadi aku mengeluarkan uang sesuai harga makanan yang kupesan dan menerima kembaliannya.

"Inget mbak, cukup visualkan aja bukan dikejar. Tugas kamu cuman berusaha semaksimal mungkin biar waktu dan idemu ngga sia-sia. Soal hasil bukan kamu yang menentukan. Gitu terus sampai apapun yang kamu inginkan tercapai. Paham!" Bu Sulas memegang tanganku erat sekali, sambil menatap mataku tanpa keraguan. Kalau dipegang, ditatap dan dinasehati dengan cara seperti ini, anak mana yang nggak nurut?

Setelah aku mengangguk dan berpamitan, Bu Sulas mengantarkanku sampai depan pintu warungnya. Aku ingat jelas, Bu Sulas berdiri di sana memastikan aku keluar dari terminal.

Ini aneh.

Tapi aku menyukainya.

Dan karena itu aku menceritakannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun