Mohon tunggu...
Wilhelmus TarsianiAlang
Wilhelmus TarsianiAlang Mohon Tunggu... Musisi - Saya tidak pandai menulis. hanya ingin Bercerita!

"Darah lebih kental, dari Air". Menulis itu bercerita dengan jari-jari Anda.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sahara di Belantara tanpa Rumput!

21 Februari 2021   07:27 Diperbarui: 21 Februari 2021   07:31 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"(Ia) membungkuk di atas bak cuci porselen, membasahi wajah dengan air dingin, mengusir sisa-sisa mimpi. Ia tidak bisa mengingat mimpinya, hanya kesan yang tertanam di kepalanya--- ramalan yang meninggalkan selubung kabut di benaknya, sensasi kesepian dan kebingungan yang tidak bisa ia jelaskan. Dengan setengah tertidur, ia membuka gaun malam flanelnya yang berat dan merasakan dinginnya kamar mandi yang membuat tubuhnya gemetar. Ia berdiri dan mengenakan pakaian dalam katun putih dan rok dalam katun, lalu menatap dirinya dengan penuh analisis dan penilaian--- lengan dan kaki yang kurus, perut yang rata, rambut coklat mencapai pundak, kalung emas yang menghiasi tulang dadanya. Bayangan yang terpantul di cermin di hadapannya adalah gadis yang mengantuk".

Tulisan ini telah kubuat lama. Bersama manusia pendengar yang tidak dapat kau temui di setiap tempat dalam peta dunia, ruang hampa galaksi maha luas, dan dalam sajak-sajak para musafir Sahara, penanti oase yang sering muncul dalam fatamorgana utopis, tidak nyata, namun mendekam dengan lama. Kisah ini hanyalah dialog dua aku, tentang gadis-gadis peminta "yang senyum mereka terlalu kekal untuk mengenang duka".  Maka izinkanlah kubuka prosa chaos ini dengan sajak "Rosa Que al Prado" Juana Ines de la Cruz:

Mawar merah yang tumbuh di padang rumput

Kau sombongkan diri dengan berani,

Bermandi warna merah padam dan merah tua:

Suatu peragaan yang elok dan wangi.


Tetapi astaga: karena cantik, tak lama lagi kau akan tidak bahagia

Apakah aku mengenal ()-nya seperti dia mengenal ()-ku? Seperti tutur si Pembunuh Kata, manusia makhluk pemuja dan pencuriga. Apa yang dipuja memujanya sendiri. Apa yang dicurigainya mencurigai si pencuriga sendiri--- mengenalnya menanyai si penanya sendiri. 

Sahara, gadis bermata coklat, berambut coklat, berkulit coklat mirip ibunya menghabiskan hidupnya pada karya dan prestasi. Gambaran dirinya yang serba coklat, mengkatamkan cinta dalam arti ambigu: manisnya dicintai dan pahitnya mencintai. Atau lebih paradoks, pecinta yang mudah kecewa dengan yang dicintai. Kekecewaan itu dibawanya serta menembusi ruang kosong dengan rasa pesimis. Berlayar bagai Putri Sparta yang dicuri Pangeran Troya, namun tidak ingin kembali kendati dermaga belum dibakar. Yang terbakar hanyalah manusia-manusia, para prajurit, kepala rumah tangga tak bersalah yang menjadi korban cinta dua insan yang tak semestinya--- namun direstui dewa Apolo. Tangisan para istri dan anak-anak yang menjerit di depan jenazah suami atau bapaknya menyiksa si Cantik Sparta, yang dalam sekejap disulap menjadi Putri Troya, amor omnia vincit: cinta mengalahkan segalanya.  

Sahara, Engkau bukan Helena. Mengenalmu tidak menyiksa. Seumpama sungai yang dibasuh cahaya matahari pagi. Namun kehilanganmu bagai cahaya yang meninggalkan langit saat sang surya tenggelam di balik cakrawala. Bagaimana mungkin aku membandingkan perjalanan waktu yang menjadikanmu pohon merambat yang menggantung pada terali.

Tidak peduli seberapa keras aku meyakinkan diri sendiri bahwa aku akan baik-baik saja tanpamu. Dan aku tahu setiap menit dalam setiap hari, hilangmu terus menghiasi hati. Kamu berkata, "Berapa harga lima menitmu, akan aku bayar". Kini lebih dari lima jam, lima bulan, lima tahun, dan lima abad, aku banyak memberi garansi. Pertanyaanku hanya satu, bagaimana aku dapat mencintaimu dengan luas, lebar, dalam, dan tinggi? Aku mencintaimu setiap hari dengan cinta yang hampir hilang. Aku mencintaimu dengan nafas, senyuman, air mata, sepanjang hidupku; dan, jika Tuhan memilih, Aku akan mencintaimu lebih baik setelah kematian.

Seperti yang kukisahkan di malam-malam hari. Di saat anjing meratap di musim kawin, di musim penghujan, di musim-musim manusia dimakan wabah, bahwa Sahara-ku suka sekali bernyanyi. Laksana dua gadis italia, ia bernyanyi tinggi dan tinggi dan lebih tinggi hingga memecahkan atap kaca. Demikianpun ia yang bernyanyi tanpa suara. Bahasa kalbunya menembus pintu surga, merobohkannya, dan mengingatkan kita akan darah Habel yang berseru kepada Allah Adam.

Saharaku di belantara tanpa rumput Gurun Sahara. Engkau seorang di sana, hidup tanpa pikiran selain mencintai dan dicintai olehku. Gurun itu, tempat kita belajar mencintai dengan cinta yang lebih dari sekadar cinta--- Dengan cinta yang  seupampama tawa mengejek pesajak tani yang menjaga bulir-bulir padi mereka agar tidak dimakan burung-burung. Para petani itu menjaga padi seharian untuk dinikmati sebulanan. Tahunannya dinikmati perantau kota yang tidak pernah menghirup aroma kemangi persawahan. Kasihan, sungguh malang. Lebih baik dimakan burung-burung. Karena jika tidak, si Pelikan, ungkas kanibal, akan membuka sayapnya, membiarkan anak-anaknya mengisap darahnya sebagai makanan.

Dan inilah alasannya dulu, di gurun Sahara, angin meniup awan, dan Saharaku yang cantik dipinang kesendirian dan membuatnya jauh dariku. Ah!! Kesendirian yang tanpa pikiran, napsu, dan kesenangan, apa lagi yang bisa menggerakan rangka-rangka kita manusia fana ini.  Bukankah kita hanyalah pelayan cinta?

Sodaraku, yang untukmu kuhabiskan malam tanpa bintang. Dalam mimpinya, Sahara tidur di tengah jalan. Di samping gedung Sekolah Swasta bercampur cahaya malam. Dia di sana, bersandar pada rupawan yang memiliki lebam di mata mirip dengan dirinya. Rupawan itu berkisah dalam hening dan gadisku mendengarkan semua kebohongannya. Dusta itulah yang dia simpan sampai menjadi gila.

Tapi gila Sahara lain. Ia bertambah gemuk. Hanya tidak bisa berujar barang sekata. Rupawan yang memiliki lebam di mata itu pun disalahkan oleh empat penjuru dunia. Ia menemui Saharaku bersama teman-teman sebaya. Semua memaksanya menyuap Sahara. Tapi rupawan itu satu di anatara manusia di bumi yang ibanya tak mudah terbeli. Meski mata ayah Sahara yang menyimpan dengki memerah di hadapan anaknya juga memohon sedikit belaskasih pada sang rupawan untuk melakukan demikian.

Rupawan itu, jangankan Saharaku. Saudari perempuannya pernah dipukulinya tanpa ampun. Ia pembunuh berdarah dingin yang dijinakan dengan beban hidup yang tak seharusnya dipikulnya. Masa lalunya adalah penyinggah yang lupa rumah. Yang merindu dari jauh. Satu yang ia tahu, hidup hanya bisa bertahan, bila harga diri dilupakan. Ia mencuri sepotong ikan dan dikejar si pembantu rumah tangga seperti polisi-polisi mengejar koruptor. Karena tersinggung ia lalu melempari si pembantu itu, dan akhirnya pembantu itu pun pergi sambil memaki-maki. Tapi setelah semua yang dilakukannya, Rupawan itu masuk ke kamarnya sendiri, mendapati dirinya sebagai manusia yang tak pernah bahagia. Lebih parah lagi, ia tak pernah berujar bahwa ia tidak bahagia. Takut membebani orang lain. Syukurlah ia punya banyak sahabat yang dermawan. Yang satu di antaranya ada gadis berkulit putih dengan harum rambut bangsawan. Gadis itu selalu membawa bekal ke sekolah saat belajar dan menawari si rupawan yang sejak pagi belum mengunyah sesendok nasi, "Kalau siang pulang, kadang hanya jambu yang kumakan!"

Di tengah cahaya harapan, dengan sedikit kesedihan yang dia alami, lagu-lagu duka dan cinta dinyanyikannya sekaligus. Menyanyikan cerita lama dan mengharukan--- dengan suara yang liar dan serak. Dengan rona merah padam, dengan mata tertunduk dan amat sederhana.

Saharaku tahu, sang Rupawan yang memiliki garis alis yang tegas itu tidak bisa memilih menatap wajahnya. Ia hanya mendengarkan dengan rona merah padam, dengan mata tertunduk, seperti yang dibuat si rupawan! Jadi kedua pecinta ini tidak tahu apa dilakukan masing-masing mereka. Jika Saharaku tersentuh, dia menangis, menangkupkan lututnya. Sang Rupawan memahami perasaanya. Seperti di siang itu, Saharaku menarik tangannya, membawanya ke sudut gedung sekolah, lalu mengganti posisi tangan, meramas kedua bahu si Rupawan, "Jangan mendekatinya lagi. Aku dibakar cemburu melihatmu bersamanya". Sang Rupawan hanya menatap wajahnya, "Mengapa aku dicintai seperti ini", batinnya. Apakah semuanya hanya sia-sia. Cemoohan yang menggila.

Rupawan itu lalu bergegas ke sebuah gua, merawat hatinya. Saat itu, di hutan daun-daun mulai menguning, dan rupawan itu sekarat dan berbaring. Jiwanya terganggu dengan belas kasihan! Sementara semua dorongan jiwa dan akal menggetarkan Saharaku yang tidak bersalah. Sang Rupawan malah menangis dengan belas kasih dan kegembiraan, tersipu karena cinta. Dan seperti gumaman mimpi, dia mendengar Saharaku menghembuskan namanya---dengan mata malu-malu berlari ke arahnya dan menangis. Saharaku memeluknya dengan tangan, menekannya dengan pelukan; menundukkan kepalanya, menatap wajah Si Rupawan. Sayangnya, yang dilihat Saharaku adalah ketakutan seorang manusia yang selalu dituduh bersalah dan ingin hidup dengan tenang.

Saharaku, aku akan tetap mencintaimu. Bahkan sampai laut mengering. Dan bebatuan mencair terkena mentari; Aku akan tetap mencintaimu, sayangku. Karena kehidupan bak pasir yang hilang ke dasar laut. Tunggulah kau! Tunggulah sebentar! Cinta kita lebih kuat dari cinta, jauh lebih bijaksana--- Karena bulan tidak pernah bersinar, tanpa membawakanku mimpi tentangmu; Dan bintang tidak pernah terbit, tapi aku merasakan tatapan matamu. Tapi tentang si Rupawan. Ia pemuda yang liar dipegang tapi tampak jinak. Oh bintang yang cerah, akankah aku setia seperti dirimu. Shakespeare menulis: "Cinta bukanlah cinta yang berubah ketika perubahan ditemukan, atau membungkuk dengan penghapus untuk menghapus. Oh tidak! Cinta adalah tanda yang selalu ditetapkan, yang terlihat pada prahara dan tidak pernah terguncang. Cinta adalah bintang dari setiap gonggongan tongkat sihir, yang nilainya tidak diketahui, meskipun tingginya harus diambil. Cinta bukanlah waktu yang bodoh. Cinta tidak berubah dengan jam dan minggu yang singkat, tapi bertahan bahkan sampai ke ujung kehancuran."

Saharaku yang kusayangi di belantara sahara tanpa rumput. Jika ini kesalahan sang Rupawan dan terbukti benar adanya, ia mungkin tidak pernah menulis, atau tidak ada orang yang pernah mencintai.

Hingga akhir waktu. Dalam masa menunggu saat-saat terakhir kehilangan manusia yang tak pernah kukenal sebelumnya. Orang asing yang masuk ke sisi paling rahasia dalam hidupku. Tulisanku diakhiri dengan cinta pada Saharaku. Sebuah cinta yang tidak mau mengajari yang dicintai cara mencintai seperti yang dimiliki si Pecinta. Karena hidup harus tahu batas. Kapan harus berhenti dan kapan harus memulai. Jika engkau kini melangkah terlalu jauh, jangan lihat ke belakang. Kau tak pernah tahu apa yang akan kau temui di sana. Mungkin cinta, mungkin dusta. Salamku padamu dari setiap doa. Terimakasih untuk semua waktumu. Jika aku kadang seolah tidak mendengarmu, sebetulnya aku mendengarmu--- lebih dari caramu mendengarku! Apakah aku pernah mengenalmu sebelumnya? Dan bagaimana jika itu pernah terjadi? Kita mungkin tidak akan berada di sini. Saharaku! Jangan melepaskanku. Jadilah kau bayang-bayang terbaik yang kubawa ke manapun aku berada. Karena tidak ada yang, dan akan, tahu tentang kita.

Takkan pernah ada yang lain di sisi

Segenap jiwa hanya untukmu

Dan takkan mungkin ada yang lain di sini

Kuingin kau di sini tepiskan sepiku bersamamu

Hingga akhir waktu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun