Mohon tunggu...
Wilhelmus TarsianiAlang
Wilhelmus TarsianiAlang Mohon Tunggu... Musisi - Saya tidak pandai menulis. hanya ingin Bercerita!

"Darah lebih kental, dari Air". Menulis itu bercerita dengan jari-jari Anda.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sahara di Belantara tanpa Rumput!

21 Februari 2021   07:27 Diperbarui: 21 Februari 2021   07:31 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti yang kukisahkan di malam-malam hari. Di saat anjing meratap di musim kawin, di musim penghujan, di musim-musim manusia dimakan wabah, bahwa Sahara-ku suka sekali bernyanyi. Laksana dua gadis italia, ia bernyanyi tinggi dan tinggi dan lebih tinggi hingga memecahkan atap kaca. Demikianpun ia yang bernyanyi tanpa suara. Bahasa kalbunya menembus pintu surga, merobohkannya, dan mengingatkan kita akan darah Habel yang berseru kepada Allah Adam.

Saharaku di belantara tanpa rumput Gurun Sahara. Engkau seorang di sana, hidup tanpa pikiran selain mencintai dan dicintai olehku. Gurun itu, tempat kita belajar mencintai dengan cinta yang lebih dari sekadar cinta--- Dengan cinta yang  seupampama tawa mengejek pesajak tani yang menjaga bulir-bulir padi mereka agar tidak dimakan burung-burung. Para petani itu menjaga padi seharian untuk dinikmati sebulanan. Tahunannya dinikmati perantau kota yang tidak pernah menghirup aroma kemangi persawahan. Kasihan, sungguh malang. Lebih baik dimakan burung-burung. Karena jika tidak, si Pelikan, ungkas kanibal, akan membuka sayapnya, membiarkan anak-anaknya mengisap darahnya sebagai makanan.

Dan inilah alasannya dulu, di gurun Sahara, angin meniup awan, dan Saharaku yang cantik dipinang kesendirian dan membuatnya jauh dariku. Ah!! Kesendirian yang tanpa pikiran, napsu, dan kesenangan, apa lagi yang bisa menggerakan rangka-rangka kita manusia fana ini.  Bukankah kita hanyalah pelayan cinta?

Sodaraku, yang untukmu kuhabiskan malam tanpa bintang. Dalam mimpinya, Sahara tidur di tengah jalan. Di samping gedung Sekolah Swasta bercampur cahaya malam. Dia di sana, bersandar pada rupawan yang memiliki lebam di mata mirip dengan dirinya. Rupawan itu berkisah dalam hening dan gadisku mendengarkan semua kebohongannya. Dusta itulah yang dia simpan sampai menjadi gila.

Tapi gila Sahara lain. Ia bertambah gemuk. Hanya tidak bisa berujar barang sekata. Rupawan yang memiliki lebam di mata itu pun disalahkan oleh empat penjuru dunia. Ia menemui Saharaku bersama teman-teman sebaya. Semua memaksanya menyuap Sahara. Tapi rupawan itu satu di anatara manusia di bumi yang ibanya tak mudah terbeli. Meski mata ayah Sahara yang menyimpan dengki memerah di hadapan anaknya juga memohon sedikit belaskasih pada sang rupawan untuk melakukan demikian.

Rupawan itu, jangankan Saharaku. Saudari perempuannya pernah dipukulinya tanpa ampun. Ia pembunuh berdarah dingin yang dijinakan dengan beban hidup yang tak seharusnya dipikulnya. Masa lalunya adalah penyinggah yang lupa rumah. Yang merindu dari jauh. Satu yang ia tahu, hidup hanya bisa bertahan, bila harga diri dilupakan. Ia mencuri sepotong ikan dan dikejar si pembantu rumah tangga seperti polisi-polisi mengejar koruptor. Karena tersinggung ia lalu melempari si pembantu itu, dan akhirnya pembantu itu pun pergi sambil memaki-maki. Tapi setelah semua yang dilakukannya, Rupawan itu masuk ke kamarnya sendiri, mendapati dirinya sebagai manusia yang tak pernah bahagia. Lebih parah lagi, ia tak pernah berujar bahwa ia tidak bahagia. Takut membebani orang lain. Syukurlah ia punya banyak sahabat yang dermawan. Yang satu di antaranya ada gadis berkulit putih dengan harum rambut bangsawan. Gadis itu selalu membawa bekal ke sekolah saat belajar dan menawari si rupawan yang sejak pagi belum mengunyah sesendok nasi, "Kalau siang pulang, kadang hanya jambu yang kumakan!"


Di tengah cahaya harapan, dengan sedikit kesedihan yang dia alami, lagu-lagu duka dan cinta dinyanyikannya sekaligus. Menyanyikan cerita lama dan mengharukan--- dengan suara yang liar dan serak. Dengan rona merah padam, dengan mata tertunduk dan amat sederhana.

Saharaku tahu, sang Rupawan yang memiliki garis alis yang tegas itu tidak bisa memilih menatap wajahnya. Ia hanya mendengarkan dengan rona merah padam, dengan mata tertunduk, seperti yang dibuat si rupawan! Jadi kedua pecinta ini tidak tahu apa dilakukan masing-masing mereka. Jika Saharaku tersentuh, dia menangis, menangkupkan lututnya. Sang Rupawan memahami perasaanya. Seperti di siang itu, Saharaku menarik tangannya, membawanya ke sudut gedung sekolah, lalu mengganti posisi tangan, meramas kedua bahu si Rupawan, "Jangan mendekatinya lagi. Aku dibakar cemburu melihatmu bersamanya". Sang Rupawan hanya menatap wajahnya, "Mengapa aku dicintai seperti ini", batinnya. Apakah semuanya hanya sia-sia. Cemoohan yang menggila.

Rupawan itu lalu bergegas ke sebuah gua, merawat hatinya. Saat itu, di hutan daun-daun mulai menguning, dan rupawan itu sekarat dan berbaring. Jiwanya terganggu dengan belas kasihan! Sementara semua dorongan jiwa dan akal menggetarkan Saharaku yang tidak bersalah. Sang Rupawan malah menangis dengan belas kasih dan kegembiraan, tersipu karena cinta. Dan seperti gumaman mimpi, dia mendengar Saharaku menghembuskan namanya---dengan mata malu-malu berlari ke arahnya dan menangis. Saharaku memeluknya dengan tangan, menekannya dengan pelukan; menundukkan kepalanya, menatap wajah Si Rupawan. Sayangnya, yang dilihat Saharaku adalah ketakutan seorang manusia yang selalu dituduh bersalah dan ingin hidup dengan tenang.

Saharaku, aku akan tetap mencintaimu. Bahkan sampai laut mengering. Dan bebatuan mencair terkena mentari; Aku akan tetap mencintaimu, sayangku. Karena kehidupan bak pasir yang hilang ke dasar laut. Tunggulah kau! Tunggulah sebentar! Cinta kita lebih kuat dari cinta, jauh lebih bijaksana--- Karena bulan tidak pernah bersinar, tanpa membawakanku mimpi tentangmu; Dan bintang tidak pernah terbit, tapi aku merasakan tatapan matamu. Tapi tentang si Rupawan. Ia pemuda yang liar dipegang tapi tampak jinak. Oh bintang yang cerah, akankah aku setia seperti dirimu. Shakespeare menulis: "Cinta bukanlah cinta yang berubah ketika perubahan ditemukan, atau membungkuk dengan penghapus untuk menghapus. Oh tidak! Cinta adalah tanda yang selalu ditetapkan, yang terlihat pada prahara dan tidak pernah terguncang. Cinta adalah bintang dari setiap gonggongan tongkat sihir, yang nilainya tidak diketahui, meskipun tingginya harus diambil. Cinta bukanlah waktu yang bodoh. Cinta tidak berubah dengan jam dan minggu yang singkat, tapi bertahan bahkan sampai ke ujung kehancuran."

Saharaku yang kusayangi di belantara sahara tanpa rumput. Jika ini kesalahan sang Rupawan dan terbukti benar adanya, ia mungkin tidak pernah menulis, atau tidak ada orang yang pernah mencintai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun