Mohon tunggu...
Wilbert Lee
Wilbert Lee Mohon Tunggu... Pelajar Kolese Kanisius

Seorang pelajar SMA Kolese Kanisius kelas XII.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bangsa yang Berani Bercermin dan Tidak Tuli

18 September 2025   20:08 Diperbarui: 18 September 2025   20:08 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia menghadapi krisis keteladanan dan komunikasi. Berbagai masalah, mulai dari ketakutan berlebihan terhadap hal-hal sepele, lambatnya penyelesaian kasus hukum, hingga krisis etika di kalangan elit politik, menunjukkan kegagalan pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi masalah utama. Analogi "fobia ulat bulu" yang disampaikan F. Rahardi, sandiwara pengusutan pagar laut ilegal yang dibahas oleh Tempo, serta krisis keteladanan yang diangkat oleh Budiman Tanuredjo, menjadi cerminan bahwa bangsa ini sering kali terjebak dalam masalah yang tidak substansial, mengabaikan persoalan mendesak, dan membuat jarak yang semakin jauh antara pemerintah dan rakyat. Padahal, pelajaran dari Reformasi 1998, dan bahkan demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah Indonesia, membuktikan bahwa solusi sebenarnya terletak pada satu hal: terwujudnya pemerintahan yang bertanggung jawab dan mau mendengarkan. 

F. Rahardi ingin memperkenalkan sebuah perspektif baru kepada masyarakat melalui artikelnya Fobia Ulat Bulu di Republik Hantu, menyoroti perilaku masyarakat Indonesia yang sering kali memiliki "fobia" berlebihan akan suatu hal, padahal yang mereka takuti bukanlah masalah utamanya. Rahardi memberikan analogi berupa sikap masyarakat yang takut akan ledakan populasi ulat bulu, padahal ledakan itu sebenarnya tidak menjadi masalah yang serius bagi sektor pertanian, lingkungan, atau kesehatan manusia (dibandingkan hujan berkepanjangan, pemanasan global, dan pembasmian predator alami yang merupakan masalah utama). Ia mampu memberikan perspektif menarik dan kritis mengenai ketakutan masyarakat yang berlebihan. Rahardi menggunakan narasi ulat bulu untuk menyoroti kekurangan masyarakat dan Pemerintah Indonesia. Ia membandingkan kondisi Indonesia pada masa kini dan masa lalu yang sangat berbeda. Dahulu, masyarakat Indonesia memanfaatkan pupa ulat avokad sebagai sumber protein, sedangkan sekarang masyarakat sudah dimanjakan dengan munculnya McDonald's, KFC, Pizza Hut, dan Hokben. Ia menyoroti paradoks yang sering dimiliki manusia, tidak suka akan ulat bulu, tetapi suka akan kupu-kupu cantik yang merupakan fase hidup lanjutan dari ulat bulu. Rahardi memiliki kemampuan yang baik untuk menggunakan ulat bulu sebagai analogi keadaan sosial-politik Indonesia pada sub judul ke-3, banyak anggota pemerintahan yang "fobia" akan menghadapi kegagalan, layaknya manusia yang takut berlebihan akan ulat bulu. 

Dahulu, masyarakat Indonesia memanfaatkan pupa ulat avokad sebagai sumber protein, sedangkan sekarang masyarakat sudah dimanjakan dengan munculnya McDonald's, KFC, Pizza Hut, dan Hokben.

Dalam artikel ini, Rahardi menggunakan beberapa diksi yang menarik, misalnya karut-marut politik, Laskar Dagelan, dan lain sebagainya. Ia juga menggunakan banyak sekali analogi dan metafora yang kuat, misalnya manusia yang takut dengan ulat bulu untuk menganalogikan masyarakat dan Pemerintah Indonesia yang takut menghadapi kegagalan ataupun metafora "republik hantu" untuk merepresentasikan negara Indonesia yang sering kali takut akan masalah yang sebenarnya tidak ada, hanya "hantu" yang membayang-bayangi saja sehingga negara Indonesia tidak mampu fokus mengatasi permasalahan utama yang sebenarnya sedang dihadapi. Rahardi memadukan isu lingkungan dengan kritik sosial. Ia menyoroti permasalahan lingkungan di dalam analogi tersebut berupa pembasmian ulat bulu yang memberikan dampak negatif bagi alam serta mendukungnya dengan fakta historis bahwa dahulu sebenarnya masyarakat Indonesia tidak takut akan ulat bulu untuk membuktikan bahwa ketakutan itu sebenarnya tidak berdasar. (1)

Kasus pagar laut yang dibahas oleh kantor redaksi Tempo dalam editorial Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal menjadi contoh nyata ketakutan berlebihan yang dijelaskan oleh F. Rahardi. Pemerintah takut untuk mengambil tanggung jawab mengusut tuntas pagar laut ilegal sepanjang 30,16 kilometer hingga akhirnya tunduk terhadap segelintir elit politik. Kantor redaksi Tempo berhasil menghadirkan sebuah editorial yang membahas permasalahan pagar laut ilegal secara tuntas. Tempo menyoroti miskomunikasi yang masih terjadi di dalam pemerintahan lewat perspektif banyak tokoh yang dihadirkan di dalam editorial, seperti Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono yang tidak setuju dengan pembongkaran pagar laut oleh TNI Angkatan Laut dan proses hukum yang berputar-putar (Kepala Korps Kepolisian Perairan dan Udara Polri Inspektur Jenderal Mohammad Yassin melemparkan tanggung jawab kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan yang kemudian melemparkannya lagi kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Tempo menyampaikan kritik keras terhadap performa pemerintah yang lambat dalam menyelesaikan kasus ini sehingga membuat kesan bahwa pemerintah "tutup mata" dan telah kalah dengan kepentingan para pengusaha. Tempo menunjukkan kontradiksi yang muncul dalam pengusutan kasus ini. Kasus pagar laut ilegal seharusnya mudah diselesaikan karena banyak pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban dan bukti menunjukkan bahwa proyek ini sudah berlangsung sejak lama. Semua argumen yang dihadirkan oleh Tempo mendukung kemungkinan bahwa pemerintah telah tunduk kepada segelintir elit superkaya dan menunjukkan urgensi agar kasus ini diselesaikan negara secepat mungkin. Urgensi itu sekaligus menjadi premis desakan Tempo bahwa Presiden Prabowo harus turun tangan dan memastikan kasus ini diusut sampai tuntas. 

Redaksi Tempo menyampaikan kritik terhadap pagar laut ilegal dengan struktur argumen yang jelas, mengambil contoh berbagai tindakan pemerintah yang bertele-tele dan saling melemparkan tanggung jawab dalam penyelesaian status serta kontradiksi yang muncul bahwa kasus ini seharusnya tidak memerlukan tindakan bertele-tele semacam itu agar dapat diselesaikan (mengingat banyaknya pihak yang terlibat dan bukti bahwa kasus ini sudah berlangsung cukup lama). Redaksi tidak hanya memberikan solusi belaka, melainkan memperkenalkan kita (para pembaca) dengan masalah-masalah yang muncul dalam proses penyelesaian kasus ini, secara tidak langsung juga menyampaikan urgensi penyelesaiannya kepada kita. Redaksi menggunakan gaya bahasa yang kritis dan kuat, seperti "sandiwara", "penuh ketidakjelasan", dan "drama" untuk mengkritik penanganan pemerintah secara lebih lanjut. Salah satu frasa yang sangat kuat maknanya adalah "negara telah kalah di hadapan kepentingan pengusaha". Redaksi juga menghubungkannya dengan isu-isu yang lebih luas, seperti PIK 2 dan tumbukannya dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) serta dugaan keterlibatan para pengusaha di dalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa kasus ini bukan merupakan insiden tunggal, melainkan sebuah masalah besar, yaitu konflik antara kepentingan pengusaha dengan hak masyarakat serta lingkungan. Dalam artikel ini, redaksi juga menyerukan berbagai dampak negatif yang dapat timbul apabila kasus ini tetap diabaikan seperti potensi konflik sosial serta mendesak Presiden Prabowo untuk turun tangan dan memastikan pengusutan tuntas. Dengan demikian, tujuan akhir dari artikel ini adalah untuk mendorong perubahan dan akuntabilitas dari pihak berwenang. (2)

Salah satu perubahan besar yang mengubah nasib bangsa Indonesia adalah Reformasi 1998. Dalam gerakan tersebut, Presiden Soeharto yang sudah menjabat selama 32 tahun dan pemerintahannya yang berisikan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) akhirnya lengser. Peristiwa ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kekuatan untuk mengubah garis haluan negara dan pemerintahan yang mungkin sudah lupa akan sumpah mulia yang telah diucapkan. Dalam artikel kolom Ketika Sumpah dan Etika Menjadi Teks Mati, Budiman Tanuredjo menggunakan sumpah pelantikan anggota DPR, menjadi awalan yang sangat kuat dan mampu menyimpulkan segala poin yang akan dibicarakan. Satu tema yang paling mencolok dalam teks kolom ini adalah krisis keteladanan, Tempo menilai bahwa para elit politik telah melupakan sumpah jabatan dan etika berbangsa. Sumpah yang mereka ucapkan hanya menjadi sekadar "teks mati" yang sarat makna. Hal itu ditunjukkan dengan kontradiksi antara sumpah yang diambil oleh para wakil rakyat dengan perbuatan mereka yang sebenarnya. Tempo mendukung argumennya dengan memberikan contoh RUU Pilkada yang melawan putusan Mahkamah Konstitusi. Sebagai teks kolom, Budiman mengambil tema yang benar-benar timeless, kasus yang terus-menerus muncul dalam sejarah bangsa Indonesia, bahkan pada tahun 2025 (seperti pada kasus tunjangan DPR dan juga demo yang muncul karenanya). Ia mengambil contoh dari masa lalu, gerakan Reformasi 1998 yang memberikan beberapa tuntutan kepada pemerintah, banyak di antaranya belum terlaksana. Ia mengajak kita untuk merefleksikannya. Istilah "krisis keteladanan" diambil oleh Budiman sebagai benang merah untuk mendeskripsikan situasi ini. 

Dalam artikel ini, Budiman banyak melibatkan pembaca, misalnya melalui ajakan untuk merefleksikan perwujudan tuntutan Reformasi 1998 pada masa kini. Terlihat jelas pada paragraf terakhir bahwa ia menggunakan kata ganti orang "kita" yang membuat kita sebagai pembaca juga terlibat. Ia juga menyampaikan beberapa pertanyaan retoris yang bertujuan untuk mengajak pembaca merenung. Muncul pula dua metafora kuat, yaitu "muazin bangsa" dan "teks mati" untuk semakin mendorong penyampaian pesan yang dikehendakinya. Ia menggunakan kutipan langsung lafal sumpah anggota DPR untuk membuka artikel ini, menetapkan standar moral yang tinggi dan menjadi dasar untuk kritik-kritik yang disampaikan dalam teks. Ia mampu menyampaikan contoh-contoh konkret untuk mendukung argumennya, misalnya upaya revisi UU Pilkada untuk melawan putusan Mahkamah Konstitusi. Budiman menghadirkan koneksi historis dengan mengisahkan ulang tuntutan Reformasi 1998 untuk menunjukkan bahwa masalah ini sebenarnya sudah ada sejak lama dan belum terselesaikan. (3)

Rakyat mana yang sebenarnya mereka wakili?

Ketiga artikel yang saya baca ini mampu mencerminkan kondisi bangsa saat ini. Para perwakilan rakyat yang melupakan sumpahnya, pemerintah yang tidak becus dalam bekerja menjadi beberapa alasan terlaksananya demonstrasi di berbagai daerah Indonesia pada 25 sampai 31 Agustus 2025, sebuah peristiwa yang juga hampir menjadi cerminan Reformasi 1998 yang terjadi hampir 30 tahun yang lalu. Orang-orang yang seharusnya mewakili rakyat Indonesia yang berkesusahan malahan menuntut take home pay lebih dari 100 juta rupiah dan berisikan tunjangan-tunjangan yang di luar nalar, rakyat mana yang sebenarnya mereka wakili? Pada saat demonstrasi berlangsung, bukannya mendengarkan rakyat yang semestinya mereka wakili, para anggota DPR malahan kabur ke luar negeri. Ada Sahroni yang kabur ke Singapura, ada Eko Patrio yang kabur ke Tiongkok, bahkan rombongan anggota Komisi XI yang bersama-sama bertamasya ke Australia, melalaikan tanggung jawab yang telah dipercayakan kepada mereka. Pemerintah yang masa bodoh seperti inilah yang juga dapat menyebabkan eskalasi demonstrasi. Bukannya berbenah dan bercermin, pemerintah malah mengirimkan buzzer untuk "mendamaikan situasi". Muncul banyak provokator yang memperbesar huru-hara. Polisi yang seharusnya melindungi rakyat malahan melindas seorang tukang ojek yang hanya numpang lewat. Pemerintah bahkan menambah ketakutan masyarakat dengan memberikan ancaman darurat militer. Banyak sekali peristiwa selama demo yang menumbuhkan ketakutan berlebihan dalam diri masyarakat. Bukan hanya masyarakat, pemerintah yang juga sepertinya merasa takut berlebihan malah lebih fokus menangani kerusuhan dibandingkan mendengar opini yang ditawarkan oleh rakyat. Kita perlu pemerintah yang tidak tuli, lihat saja situasi demo di Jogja yang cepat redam karena Sri Sultan Hamengku Buwono X turun langsung untuk menemui para demonstran dan mendengarkan suara mereka. 

Ada Sahroni yang kabur ke Singapura, ada Eko Patrio yang kabur ke Tiongkok, bahkan rombongan anggota Komisi XI yang bersama-sama bertamasya ke Australia, melalaikan tanggung jawab yang telah dipercayakan kepada mereka.

Oleh karena itu, penting bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan sebuah pemerintahan yang mau mendengarkan rakyatnya dan tidak kabur dari tanggung jawabnya, dengan kata lain: kita harus meningkatkan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah yang mau mendengarkan rakyatnya memainkan peran krusial dalam menciptakan tata kelola yang efektif dan responsif. Dengan mendengarkan, pemerintah dapat lebih memahami tantangan dan kebutuhan yang sebenarnya dihadapi oleh warganya, bukan hanya asumsi-asumsi yang malah berkembang menjadi ketakutan palsu dan berlebihan. Manfaatnya pun tidak main-main, yakni perumusan kebijakan menjadi lebih relevan, tepat sasaran, dan inklusif. Sikap mendengarkan membangun jembatan kepercayaan antara pemerintah dan rakyat. Masyarakat akan merasa lebih terwakili dan dihargai apabila didengarkan oleh pemerintah sehingga memunculkan sikap proaktif dalam partisipasi pembangunan, implementasi kebijakan, dan menjaga stabilitas sosial. Sebaliknya, pemerintah yang abai terhadap suara rakyat berisiko kehilangan legitimasi, memicu ketidakpuasan publik, dan berujung pada ketidakstabilan. Ingat bahwa pada tahun 1998, pemerintah yang dinilai kurang efektif akhirnya memperoleh tekanan dari massa dan Presiden Soeharto pun turun dari jabatan akibatnya. Janganlah menjadi seorang perwakilan rakyat yang malah meremehkan pihak yang diwakili, melainkan jadilah perwakilan rakyat yang mau mendengarkan tuntutan rakyat! Dengan demikian, gelar perwakilan rakyat tidak hanya menjadi omon-omon belaka. 

Marilah kita berani bercermin sebagai satu bangsa Indonesia dan mewujudkan pemerintah yang mau mendengarkan! 

Sumber Artikel

  1. Fobia Ulat Bulu di Negeri Hantu  (F. Rahardi, Kompas.com)

  2. Sandiwara Penyelesaian Pagar Laut Ilegal (Editorial Tempo)

  3. Ketika Sumpah dan Etika hanya Menjadi Teks Mati (Budiman Tanuredjo, Kolom Kompas, 28 Agustus 2024)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun