Benarkah Kompasiana Bangkrut? Inilah kisah Omjay kali ini di kompasiana tercinta. Omjay sudah menulis di kompasiana dari mulai berdiri hingga saat ini.
Ada kabar beredar di grup WhatsApp para penulis, katanya Kompasiana bangkrut. Saya sampai tersedak kopi saat membaca berita itu. "Waduh, kalau Kompasiana bangkrut, terus di mana lagi kita bisa menulis panjang-panjang tanpa dipotong admin? Di status Facebook maksimal cuma 5.000 karakter, di Twitter eh sekarang X cuma 280 karakter, di Instagram malah lebih parah---nulis caption panjang dikira curhat nggak kelar-kelar."
Pertanyaan besarnya: benarkah Kompasiana bangkrut?
Nah, karena saya ini guru blogger, bukan auditor keuangan, maka jawaban saya tentu bukan berdasarkan laporan keuangan tahunan, melainkan berdasarkan suasana hati penulis. Kalau penulis-penulis sudah jarang nongol, artikel makin sepi komentar, dan lomba menulis makin jarang, bolehlah kita pakai istilah satir: "Kompasiana bangkrut batin, bukan bangkrut finansial."
1. Bangkrut Pembaca
Jangan salah, pembaca Kompasiana itu sebenarnya banyak. Tapi belakangan, banyak yang hanya membaca diam-diam. Silent reader. Klik artikel, baca, tutup tab. Tidak ada jejak. Tidak ada komentar. Tidak ada "like" (atau recommend).
Saya jadi ingat kata pepatah: "Tulisan terbaik adalah tulisan yang sepi pembaca." Nah, di Kompasiana, pepatah itu makin nyata. Kadang saya nulis 1.500 kata, susah payah menyelipkan humor ala Omjay, eh pembacanya cuma 13 orang. Itu pun mungkin termasuk saya sendiri yang nge-klik berkali-kali untuk ngecek typo.
Kalau pembaca tidak mau meninggalkan komentar, apakah artinya bangkrut? Bisa jadi iya. Karena sebuah media tanpa interaksi ibarat warung kopi tanpa pengunjung.
2. Bangkrut Komentator
Dulu, zaman Kompasiana masih "hijau royo-royo", komentar itu rame. Ada yang serius, ada yang nyeleneh, ada juga yang sekadar titip link. Rasanya kayak nongkrong di warung pojokan kampus: selalu ada yang nyeletuk.
Sekarang? Komentator makin langka. Saya sering merasa menulis di padang pasir. Yang terdengar hanya suara angin, tanpa sahutan. Kadang saya berandai-andai, seandainya ada fitur AI auto-comment, mungkin artikel saya bisa lebih ramai. Minimal ada komentar standar begini: