Satu nama sudah gugur, satu nama lain masih bertahan di ujung napas. Semua itu bukan akibat perang melawan penjajah asing, melainkan akibat roda baja negara yang seharusnya melindungi rakyatnya.
Jeritan yang Tak Didengar
Detik-detik tragedi itu terus terngiang di kepala para saksi. Bagaimana rantis hitam bermoncong baja itu melaju tanpa belas kasihan. Tubuh Affan tidak lagi dipandang sebagai manusia, melainkan sekadar kerikil di jalan raya.Â
Saksi mata berteriak histeris, namun suara mereka tenggelam oleh gemuruh mesin perang negara. Dalam hitungan detik, satu nyawa rakyat kecil melayang, dan satu keluarga hancur seketika.
Tak ada film Hollywood yang bisa melukiskan kengerian itu. Ini bukan adegan drama, ini nyata. Nyawa rakyat miskin diremukkan oleh roda besi, dan setelah itu negara hanya bisa berucap lirih: maaf.
Istana, melalui Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, menyampaikan permintaan maaf. Disusul Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang juga berkata dengan nada penuh penyesalan:
"Saya menyesali terhadap peristiwa yang terjadi dan mohon maaf sedalam-dalamnya... Sekali lagi, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya untuk korban dan seluruh keluarga serta keluarga besar Ojol."
Kata itu, maaf, dilemparkan seperti recehan di jalanan. Seolah maaf bisa menutup luka. Seolah maaf bisa mengganti cicilan motor Affan yang kini terbengkalai. Seolah maaf bisa membayar susu anak yang ditinggalkan ayahnya. Seolah maaf bisa menahan mesin ventilator yang menopang Umar agar tetap bernapas.
Padahal luka itu telah menjelma parit dalam di hati rakyat. Luka yang tak bisa ditutup dengan sekadar kata, apalagi jika kata itu datang dari mereka yang duduk di singgasana kekuasaan, jauh dari jeritan rakyat kecil.
Solidaritas Abang Ojol