Mari kita tarik sedikit perbandingan yang lebih tajam. Seorang anggota DPR, dengan latar belakang pendidikan seadanya, bisa memperoleh gaji dan tunjangan puluhan juta rupiah, ditambah fasilitas mobil dinas, rumah dinas, perjalanan dinas, hingga pensiun.
Di sisi lain, seorang guru bergelar doktor, dengan dedikasi tanpa batas, masih harus menghitung hari untuk gajian, masih berjuang mencari tambahan penghasilan dari menulis, mengajar les, atau bahkan membuka usaha kecil-kecilan.
Bukankah ini ironi?
Bukankah ini luka yang dalam bagi dunia pendidikan kita?
Namun, inilah realitas atau kenyataan yang mau tidak mau harus diterima. Karena jika tidak, mungkin banyak guru yang akan berhenti melangkah. Banyak guru yang akhirnya berhenti mengabdi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tetap Bersyukur, Meski Perih
Di balik semua rasa getir itu, ada hal yang selalu menjadi penyangga: rasa syukur kepada Allah SWT. Banyak guru selalu bersyukur dengan apa yang sudah didapatkannya.
Meski penghasilan tidak sepadan dengan perjuangan, guru tetap menjadi sosok yang disegani murid-muridnya. Meski jabatan stagnan, masih ada rasa bangga ketika melihat anak-anak didik berhasil.Â
Meski penghargaan negara belum setara, ada penghargaan dari hati kecil siswa yang terus mengingat jasa gurunya. Guru akan merasa bahagia ketika muridnya masih kenal gurunya ketika sudah sukses meraih cita-citanya.
Gaji guru yang kecil mungkin tidak bisa membeli kemewahan, tetapi kebahagiaan seorang guru sering datang dari sumber yang simple atau sederhana: ucapan terima kasih, senyum murid yang berhasil, atau sekadar sapaan dari alumni yang kini sudah sukses.
Harapan untuk Pemberdayaan Guru S3