Guru bergelar doktor tetap saja berdiri di depan kelas dengan status dan gaji yang tidak jauh berbeda dengan rekan-rekan mereka yang bergelar sarjana muda. Inilah kenyataan hidup yang harus dijalani dengan senyuman pengabdian.
Padahal, jika logika sederhana kita gunakan: semakin tinggi ilmu seseorang, semakin besar pula seharusnya ruang untuk mengabdi dan diberdayakan. Sayangnya, logika itu tidak berlaku di banyak sekolah negeri maupun swasta.
Indonesia dan Tantangan Menghargai Ilmu
Jika kita jujur, bangsa ini belum sepenuhnya memberikan tempat yang layak bagi orang berpendidikan tinggi. Gelar akademik sering hanya dilihat sebagai formalitas, bukan sebagai investasi negara dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Contoh paling nyata ada di bidang pendidikan. Guru cukup diwajibkan S1. Untuk naik pangkat, syarat administratif lebih diutamakan ketimbang kualitas akademik.Â
Seorang guru lulus jenjang doktor S3 tetap saja berada di level yang sama dengan guru S1. Tidak ada perlakuan khusus, tidak ada ruang lebih luas untuk mengembangkan diri. Kecuali, guru tersebut mampu melakukan inovasi dan pengembangan diri serta kreatif.
Bandingkan dengan dunia akademik di perguruan tinggi. Seorang dosen yang meraih gelar doktor memiliki jalan lebih lapang untuk melangkah ke jabatan fungsional lebih tinggi, bahkan hingga mencapai profesor.Â
Di sana, pendidikan tinggi dihargai dan diberi ruang untuk tumbuh. Guru besar dapat diraih bila sang dosen rajin meneliti dan membuat karya tulis ilmiah yang terindeks scopus dan jurnal internasional lainnya.
Mungkin inilah sebabnya banyak guru yang akhirnya memilih "menyebrang"Â menjadi dosen. Jalan menjadi guru besar terbuka, meski tentu saja tidak semua orang memiliki kesempatan atau keberuntungan ke arah itu.
Ironi Sosial: DPR vs Guru