Ketika otak tidak digunakan untuk berpikir jernih, maka yang mengambil alih adalah naluri rendah: keserakahan, kebencian, dan kelicikan. Culas menjadi norma baru. Kita lihat di berbagai sektor kehidupan: dari pejabat yang korup, pengusaha yang curang, hingga masyarakat yang rela mengorbankan kejujuran demi keuntungan sesaat.
Contohnya mudah kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Di jalan raya, pengendara saling serobot, tidak peduli keselamatan orang lain. Di media sosial, netizen saling menghujat tanpa tahu kebenaran. Di lembaga-lembaga publik, banyak yang lebih sibuk membangun pencitraan daripada menyelesaikan masalah rakyat.
Ketika otak tidak digunakan untuk merawat nilai-nilai kemanusiaan, maka yang tersisa hanyalah manusia dengan tubuh, tetapi tanpa nurani. Inilah ancaman nyata yang sedang kita hadapi. Kita sedang mengalami degradasi intelektual sekaligus moral.
Pendidikan yang Kehilangan Tujuan
Salah satu akar dari persoalan ini adalah sistem pendidikan yang semakin kehilangan arah. Pendidikan kita terlalu berorientasi pada hasil ujian, ranking, dan sertifikat. Jarang sekali siswa didorong untuk bertanya "mengapa", atau diajak merenung tentang nilai dari apa yang mereka pelajari.
Di ruang kelas, siswa dijejali hafalan, bukan dilatih bernalar. Guru tertekan dengan administrasi, bukan diberdayakan untuk menginspirasi. Orang tua lebih bangga anaknya dapat nilai 100, daripada tahu anaknya jujur dan peduli pada sesama.
Padahal, pendidikan sejati bukan hanya tentang mencetak orang pintar, melainkan membentuk manusia yang berpikir dan berperilaku bijak. Jika pendidikan gagal menanamkan kebiasaan berpikir kritis dan etis, maka manusia akan tumbuh cerdas secara kognitif tetapi culas secara moral.
Solusi: Kembalikan Peran Otak Sebagai Pusat Kesadaran
Kita harus segera menyadari bahwa masa depan bangsa sangat bergantung pada bagaimana kita menghargai otak, dalam arti fungsi intelektual dan moralnya. Jangan biarkan teknologi membuat kita lupa berpikir. Jangan biarkan budaya instan menjauhkan kita dari refleksi dan kontemplasi.
Kita perlu menghidupkan kembali budaya membaca, menulis, dan berdiskusi. Bukan sekadar untuk mengejar gelar, tapi untuk mengasah otak dan menumbuhkan kesadaran. Kita harus mendidik anak-anak agar berani berpikir beda, mampu mengungkapkan pendapat dengan sopan, dan menghargai perbedaan.
Guru harus menjadi teladan berpikir kritis dan etis. Media harus menjadi ruang edukatif, bukan ajang sensasi. Pemerintah pun harus mendukung kebijakan yang mendorong tumbuhnya budaya intelektual di masyarakat.