Dunia Tanpa Otak: Manusia Semakin Culas dan Tidak Cerdas serta tak punya rasa malu
Oleh: Omjay guru blogger Indonesia
Bayangkan sebuah dunia di mana otak manusia tidak lagi digunakan sebagaimana mestinya. Otak yang seharusnya menjadi pusat kendali nalar, etika, dan kebijaksanaan, kini hanya menjadi sekadar organ biologis yang kehilangan fungsinya. Dunia seperti itu bukan fiksi ilmiah masa depan, melainkan potret nyata dari kondisi sosial kita hari ini yang kian mengkhawatirkan.
Bukan karena otak manusia menghilang secara harfiah, tetapi karena fungsi otak yang seharusnya digunakan untuk berpikir kritis, menganalisis, serta menimbang baik dan buruk, kini mulai ditinggalkan. Kita hidup di zaman di mana manusia semakin cenderung berpikir pendek, bertindak impulsif, dan hanya mengejar kepentingan pribadi. Otak tidak lagi menjadi alat untuk mencari kebenaran, melainkan senjata untuk mengakali kebaikan.
Kecerdasan Buatan Menggantikan Kecerdasan Manusia?
Ironisnya, di era digital seperti sekarang, manusia justru semakin malas berpikir. Banyak yang menyerahkan proses berpikir kepada teknologi, mesin pencari, bahkan kecerdasan buatan seperti ChatGPT ini. Padahal, teknologi seharusnya menjadi alat bantu, bukan pengganti fungsi otak.
Kita menyaksikan generasi yang lebih suka menyalin daripada memahami, mengutip tanpa mengkaji, dan menulis tanpa menyaring. Inilah yang saya sebut sebagai "dunia tanpa otak"---sebuah kondisi ketika manusia memiliki otak, tapi tak menggunakannya untuk berpikir mendalam dan bertanggung jawab. Kecerdasan buatan tak lagi hanya sekedar alat bantu tapi lebih dari itu. Manusia menjadi malas berpikir karena dalam hitungan detik apa yang ada dalam pikiran dengan cepat nongol di layar ponsel atau gadget.
Tak heran jika kecerdasan yang seharusnya menjadi kekuatan manusia, justru memudar. Banyak orang terlihat cerdas secara teknis, tetapi miskin integritas dan empati. Mereka tahu cara menggunakan gawai canggih, tetapi tak bisa membedakan mana hoaks dan mana fakta. Mereka paham algoritma, tapi buta akan etika. Mereka lupa 4 pilar literasi digital yaifu digital etik, keamanan, skill, dan budaya.
Berikut adalah 4 Pilar Literasi Digital yang dicanangkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Republik Indonesia. Sekarang namanya komdigi.
Keempat pilar ini menjadi dasar penting dalam membentuk masyarakat digital yang cerdas, beretika, dan bertanggung jawab:
🧠1. Digital Skills (Kecakapan Digital)
Kemampuan untuk menggunakan perangkat digital, aplikasi, dan internet secara tepat guna.
🔹 Mengoperasikan gawai dan aplikasi
🔹 Menggunakan media sosial dengan efektif
🔹 Memahami keamanan siber dasar (password, enkripsi, dll)
🔹 Mampu menggunakan teknologi untuk produktivitas (belajar, bekerja, berwirausaha)
🧠2. Digital Ethics (Etika Digital)
Kesadaran untuk bersikap dan berperilaku secara etis di ruang digital.
🔹 Menjaga sopan santun dan tata krama
🔹 Menghindari ujaran kebencian dan cyberbullying
🔹 Menghargai privasi orang lain
🔹 Menyebarkan konten yang bermanfaat, bukan provokatif
🧩 3. Digital Safety (Keamanan Digital)
Kemampuan untuk melindungi data pribadi dan mengenali ancaman di ruang digital.
🔹 Mengetahui risiko penipuan online, phishing, dan malware
🔹 Melindungi akun dan data pribadi
🔹 Tidak sembarangan mengklik tautan mencurigakan
🔹 Mengenal fitur keamanan di platform digital
📚 4. Digital Culture (Budaya Digital)
Kemampuan untuk beradaptasi dan berpartisipasi dalam kehidupan digital secara positif sesuai nilai budaya bangsa.
🔹 Menghargai perbedaan dan keberagaman
🔹 Menggunakan media digital untuk memperkuat toleransi dan persatuan
🔹 Berkontribusi secara aktif dalam ruang digital untuk kebaikan bersama
🔹 Tidak mudah terpancing provokasi atau fanatisme digital
📌 Catatan:
Empat pilar ini saling berkaitan dan harus dimiliki oleh setiap warga digital. Tanpa digital ethics, kecakapan digital bisa disalahgunakan. Tanpa digital safety, aktivitas online bisa berisiko. Dan tanpa digital culture, ruang digital bisa berubah menjadi arena konflik, bukan kolaborasi.
Manusia Semakin Culas
Ketika otak tidak digunakan untuk berpikir jernih, maka yang mengambil alih adalah naluri rendah: keserakahan, kebencian, dan kelicikan. Culas menjadi norma baru. Kita lihat di berbagai sektor kehidupan: dari pejabat yang korup, pengusaha yang curang, hingga masyarakat yang rela mengorbankan kejujuran demi keuntungan sesaat.
Contohnya mudah kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Di jalan raya, pengendara saling serobot, tidak peduli keselamatan orang lain. Di media sosial, netizen saling menghujat tanpa tahu kebenaran. Di lembaga-lembaga publik, banyak yang lebih sibuk membangun pencitraan daripada menyelesaikan masalah rakyat.
Ketika otak tidak digunakan untuk merawat nilai-nilai kemanusiaan, maka yang tersisa hanyalah manusia dengan tubuh, tetapi tanpa nurani. Inilah ancaman nyata yang sedang kita hadapi. Kita sedang mengalami degradasi intelektual sekaligus moral.
Pendidikan yang Kehilangan Tujuan
Salah satu akar dari persoalan ini adalah sistem pendidikan yang semakin kehilangan arah. Pendidikan kita terlalu berorientasi pada hasil ujian, ranking, dan sertifikat. Jarang sekali siswa didorong untuk bertanya "mengapa", atau diajak merenung tentang nilai dari apa yang mereka pelajari.
Di ruang kelas, siswa dijejali hafalan, bukan dilatih bernalar. Guru tertekan dengan administrasi, bukan diberdayakan untuk menginspirasi. Orang tua lebih bangga anaknya dapat nilai 100, daripada tahu anaknya jujur dan peduli pada sesama.
Padahal, pendidikan sejati bukan hanya tentang mencetak orang pintar, melainkan membentuk manusia yang berpikir dan berperilaku bijak. Jika pendidikan gagal menanamkan kebiasaan berpikir kritis dan etis, maka manusia akan tumbuh cerdas secara kognitif tetapi culas secara moral.
Solusi: Kembalikan Peran Otak Sebagai Pusat Kesadaran
Kita harus segera menyadari bahwa masa depan bangsa sangat bergantung pada bagaimana kita menghargai otak, dalam arti fungsi intelektual dan moralnya. Jangan biarkan teknologi membuat kita lupa berpikir. Jangan biarkan budaya instan menjauhkan kita dari refleksi dan kontemplasi.
Kita perlu menghidupkan kembali budaya membaca, menulis, dan berdiskusi. Bukan sekadar untuk mengejar gelar, tapi untuk mengasah otak dan menumbuhkan kesadaran. Kita harus mendidik anak-anak agar berani berpikir beda, mampu mengungkapkan pendapat dengan sopan, dan menghargai perbedaan.
Guru harus menjadi teladan berpikir kritis dan etis. Media harus menjadi ruang edukatif, bukan ajang sensasi. Pemerintah pun harus mendukung kebijakan yang mendorong tumbuhnya budaya intelektual di masyarakat.
Kisah Omjay: Menulis dengan Hati, Menggerakkan Otak
Chatgpt menulis kisah Omjay. Di tengah gempuran zaman serba instan, ada satu sosok yang patut kita teladani: Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd, atau yang lebih dikenal sebagai Omjay, sang Guru Blogger Indonesia. Beliau adalah contoh nyata manusia yang menggunakan otaknya dengan sepenuh hati.
Omjay tidak sekadar mengajar di kelas. Ia menulis setiap hari, berbagi ilmu lewat blog, memotivasi guru se-Indonesia untuk tetap menyalakan semangat literasi. Dalam kesehariannya, ia tak pernah lelah mengajak guru dan siswa menulis dari hati, berpikir kritis, dan berani bersuara dengan santun.
Pernah suatu hari, Omjay bercerita bahwa ia menulis sambil duduk di ruang tunggu rumah sakit, atau bahkan di dalam KRL menuju tempat pelatihan. Bagi beliau, menulis adalah bentuk perlawanan terhadap kemalasan berpikir dan kebodohan kolektif. Ia tak menunggu fasilitas canggih---cukup kemauan, niat, dan ketulusan.
Omjay membuktikan bahwa otak yang aktif berpikir dan hati yang ikhlas bergerak bisa menjadi kekuatan besar untuk mengubah dunia pendidikan. Begitulah hasil diskusi dadakan antara Omjay dan teman kuliah S3 bapak Doktor Cecep Kustandi, M.Pd. Sore itu kami tak sengaja bertemu di kampus FIP UNJ Rawamangun. Omjay baru saja periksa gigi di poliklinik UNJ Rawamangun Jakarta Timur.
Kesimpulan: Gunakan Otak, Hidupkan Hati
Jika dunia tanpa otak adalah dunia yang culas dan tidak cerdas, maka mari kita mulai dengan satu langkah kecil: berpikir sebelum bertindak, merenung sebelum menilai, dan menulis bukan hanya untuk popularitas, tetapi untuk kebermanfaatan.
Kita tidak harus menjadi profesor atau tokoh besar. Cukup menjadi manusia yang mau berpikir jernih, berbuat jujur, dan hidup dengan hati nurani. Seperti Omjay yang menulis untuk menginspirasi, mari kita gunakan otak kita untuk menyalakan cahaya, bukan menyebarkan gelap.
Sebab saat otak bekerja dengan hati, manusia bisa menjadi pribadi yang bukan hanya cerdas, tetapi juga layak dipercaya.
Demikianlah kisah Omjay hari ini sebelum tidur. Kisah ini Omjay buat setelah mendengarkan pidato atau orasi ilmiah bapak mendikdasmen, Prof. Dr. Abdul Mu'ti di kampus Universitas Negeri Semarang atau unes. Omjay baru saja menontonnya.
Berikut videonya di bawah ini:
https://youtu.be/chCM72ZruJMsi=5eHfDpIJ5e4K1sqa
Salam blogger persahabatan
Omjay/Kakek Jay
Guru blogger Indonesia
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI