Generasi Stroberi Perlu Belajar Merasakan Pahit Getirnya Hidup
Oleh: Widodo, S.Pd.
Pendahuluan
Beberapa kasus pada generasi stroberi---sebutan bagi anak muda yang tampak indah di luar, tetapi rapuh di dalam---menunjukkan betapa mudahnya mereka menemukan jalan buntu dalam hidup. Ketika menghadapi tekanan, sedikit kegagalan, atau kritik yang tajam, banyak yang memilih mundur, patah semangat, bahkan ada yang nekat mengakhiri hidupnya.
Namun, mari kita ingat ilustrasi sederhana tentang mata seorang bayi kecil yang berbinar-binar melihat cahaya lilin. Ia tidak hanya puas memandangi nyala itu. Ia ingin mencecap lidah api yang tampak menggoda. Namun, ketika tangannya menyentuh, ia tersentak, menangis, dan belajar: tidak semua yang tampak indah membawa rasa manis. Ada panas, ada sakit, ada pelajaran.
Itu di zaman pra-generasi stroberi---ketika anak-anak masih akrab dengan nyala lilin, masih bisa merasakan dunia nyata dengan kulit dan jiwa mereka sendiri. Kini, di era listrik dan layar digital, generasi muda jarang sekali disentuh oleh pengalaman yang "panas". Dunia mereka halus, steril, penuh kenyamanan. Maka pertanyaannya: dengan apakah generasi stroberi belajar merasakan pahit getirnya hidup?
Pembahasan
Isu Bunuh Diri Generasi Stroberi
Dalam beberapa tahun terakhir, berita tentang remaja yang memilih bunuh diri karena tekanan akademik, cinta, atau ekspektasi sosial semakin sering terdengar. Ironisnya, sebagian berasal dari keluarga yang tampak harmonis dan berkecukupan. Fenomena ini menunjukkan adanya kesenjangan daya tahan jiwa---mereka gagal menemukan makna di tengah penderitaan.
Media sosial, dengan segala citra kesempurnaannya, memperparah luka ini. Anak muda terbiasa membandingkan dirinya dengan kesuksesan palsu orang lain. Mereka lupa bahwa hidup tak selalu bergambar cerah. Dalam dunia digital, luka tak terlihat, tapi terasa.