Hari Penilaian
Seminggu pun berlalu. Ruang kelas penuh dengan rasa penasaran. Arga membawa kanvas besar, Buya membawa naskah cerpen, Cintia datang dengan lukisan satirnya.
Bapak Idris menatap satu per satu. "Arga, lukisanmu indah, tapi masih dalam jalur seni biasa."
Lalu ia menoleh pada Buya. "Buya, cerpenmu jujur, sederhana, tapi kuat. Kau mendekati inti dari seni yang tak seni."
Akhirnya, matanya berhenti pada karya Cintia.
Ia terdiam cukup lama, lalu mengangguk. "Cintia, kau berhasil menyentuh sesuatu yang lebih dalam. Karyamu bukan hanya seni, tapi juga kritik, keberanian, dan pengingat bagi kita semua. Itulah seni yang tidak seni."
Ruangan hening. Semua menunggu.
Bapak Idris mengumumkan dengan tegas, "Pemenangnya adalah... Cintia!"
Tepuk tangan pecah. Cintia tersipu, namun dalam hatinya ia tahu: hadiah sejati bukanlah uang lima juta rupiah itu, melainkan keberanian untuk berkata benar di ruang yang sering terbungkam.
Tangerang, 30 September 2025
Oleh: Widodo, S.Pd.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI