Buya memilih jalur yang berbeda. Ia tidak memegang kuas, melainkan pena. Baginya, seni yang tidak seni adalah kehidupan sehari-hari yang sering dianggap remeh.
Ia menulis cerpen. Tokoh pertamanya adalah pengendara mobil mewah yang tiba-tiba membeli tahu sumedang dari pedagang asongan di pintu tol. Lalu, ia melanjutkan dengan kisah Presiden yang sederhana, rela makan di warung tegal tanpa protokol berlapis.
Tak berhenti di sana, Buya menyelipkan cerita Paus Fransiskus---sosok suci yang memilih mobil Inova dan apartemen sederhana ketimbang hotel mewah.
Cerpen itu terasa seperti kritik sosial, sederhana tapi menyentuh. Buya yakin, seni yang tidak seni adalah ketika kisah nyata mengalahkan dramatisasi.
Cerita Cintia
Cintia lain lagi. Ia tidak terburu-buru. Malam-malamnya dipenuhi dengan membaca literasi, menjelajah internet, dan merenung panjang. "Karya seni yang tidak seni harus menyentuh sesuatu yang lebih dari keindahan. Harus mengusik kesadaran," pikirnya.
Ia teringat pada kata-kata Thomas Alfa Edison: 1% ide, 99% kerja keras. Dari sana, ia menemukan arah.
Cintia lalu membuat lukisan ilustratif sebuah jam raksasa: Jam Santo Petrus. Namun, jarum jam itu bukan menunjukkan waktu biasa, melainkan kecepatan datangnya arwah dari bangsa-bangsa yang hidupnya di dunia, diwarnai dengan perilaku korupsi. Makin cepat artinya makin banyak koruptor dari bangsa itu.Â
Di lukisan itu tertulis:
- Korea -- cepat sekali
- Jepang -- cepat.
- Indonesia --?????
 Jamnya hilang ! Jarumnya dipakai untuk kipas angin, karena terlalu cepat berputar akibat banyaknya koruptor di Indonesia.
Di bawah lukisan itu, Cintia menulis dengan berani:
- Darurat Baca Pejabat Kita!
- Darurat Public Speaking Pejabat Kita!
- Darurat Korupsi Pejabat Kita!
Karyanya bukan sekadar lukisan, tapi pernyataan keras yang membuat dada berdebar.