Mohon tunggu...
Widodo Antonius
Widodo Antonius Mohon Tunggu... Guru SD Tarsisius Vireta Tangerang

Hobi membaca menulis dan bermain musik

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Karya Seni yang Tidak Seni

30 September 2025   13:31 Diperbarui: 30 September 2025   13:42 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Karya Seni yang Tidak Seni ( Sumber: https://www.canva.com/design/DAG0bgZp-xo )

Karya Seni yang Tidak Seni

Ruang kelas sore itu terasa berbeda. Di papan tulis sudah tertulis kata-kata yang membuat semua mahasiswa penasaran: "Karya Seni yang Tidak Seni."

Bapak Idris, dosen yang dikenal suka memberi tantangan unik, berdiri di depan kelas dengan senyum penuh teka-teki. "Hari ini saya ingin memberi tugas lomba," ujarnya. Suaranya mantap, seperti seorang maestro yang hendak memulai konser.

"Tugasnya sederhana," lanjutnya, "buatlah karya seni yang tidak seni. Kalian punya waktu satu minggu. Saya akan memilih satu karya terbaik, dan pemenangnya akan mendapat hadiah uang lima juta rupiah."

Mahasiswa terdiam. Ada yang mengerutkan dahi, ada yang menulis buru-buru, ada pula yang menatap kosong ke luar jendela. Apa maksudnya karya seni yang tidak seni?

Tiga mahasiswa teladan pilihan langsung berdiskusi dalam hati mereka sendiri: Arga, Buya, dan Cintia.

Cerita Arga

Arga pulang dengan membawa ingatan pada dunia yang sudah akrab dengannya: kanvas, kuas, dan cat minyak. Ia berpikir, "Kalau seni yang biasa itu sudah jelas bentuknya, maka seni yang tidak seni harus keluar dari kebiasaan."

Namun, Arga tak bisa melepaskan diri dari kebiasaannya sebagai pelukis. Maka, ia pun membuat lukisan abstrak-kontemporer. Bentuknya kabur, warnanya saling bertabrakan, garisnya liar. Bagi Arga, lukisan itu bukan sekadar gambar, tapi rekaman pengalaman batinnya yang kacau sekaligus penuh makna.

"Biar orang lain bilang apa," gumam Arga, "ini tetap karya seni... tapi yang tak bisa dinikmati semua orang."

Cerita Buya

Buya memilih jalur yang berbeda. Ia tidak memegang kuas, melainkan pena. Baginya, seni yang tidak seni adalah kehidupan sehari-hari yang sering dianggap remeh.

Ia menulis cerpen. Tokoh pertamanya adalah pengendara mobil mewah yang tiba-tiba membeli tahu sumedang dari pedagang asongan di pintu tol. Lalu, ia melanjutkan dengan kisah Presiden yang sederhana, rela makan di warung tegal tanpa protokol berlapis.

Tak berhenti di sana, Buya menyelipkan cerita Paus Fransiskus---sosok suci yang memilih mobil Inova dan apartemen sederhana ketimbang hotel mewah.

Cerpen itu terasa seperti kritik sosial, sederhana tapi menyentuh. Buya yakin, seni yang tidak seni adalah ketika kisah nyata mengalahkan dramatisasi.

Cerita Cintia

Cintia lain lagi. Ia tidak terburu-buru. Malam-malamnya dipenuhi dengan membaca literasi, menjelajah internet, dan merenung panjang. "Karya seni yang tidak seni harus menyentuh sesuatu yang lebih dari keindahan. Harus mengusik kesadaran," pikirnya.

Ia teringat pada kata-kata Thomas Alfa Edison: 1% ide, 99% kerja keras. Dari sana, ia menemukan arah.

Cintia lalu membuat lukisan ilustratif sebuah jam raksasa: Jam Santo Petrus. Namun, jarum jam itu bukan menunjukkan waktu biasa, melainkan kecepatan datangnya arwah dari bangsa-bangsa yang hidupnya di dunia,  diwarnai dengan perilaku korupsi. Makin cepat artinya makin banyak koruptor dari bangsa itu. 

Di lukisan itu tertulis:

  • Korea -- cepat sekali
  • Jepang -- cepat.
  • Indonesia --?????
     Jamnya hilang ! Jarumnya dipakai untuk kipas angin, karena terlalu cepat berputar akibat banyaknya koruptor di Indonesia.

Di bawah lukisan itu, Cintia menulis dengan berani:

Karyanya bukan sekadar lukisan, tapi pernyataan keras yang membuat dada berdebar.

Hari Penilaian

Seminggu pun berlalu. Ruang kelas penuh dengan rasa penasaran. Arga membawa kanvas besar, Buya membawa naskah cerpen, Cintia datang dengan lukisan satirnya.

Bapak Idris menatap satu per satu. "Arga, lukisanmu indah, tapi masih dalam jalur seni biasa."
Lalu ia menoleh pada Buya. "Buya, cerpenmu jujur, sederhana, tapi kuat. Kau mendekati inti dari seni yang tak seni."
Akhirnya, matanya berhenti pada karya Cintia.

Ia terdiam cukup lama, lalu mengangguk. "Cintia, kau berhasil menyentuh sesuatu yang lebih dalam. Karyamu bukan hanya seni, tapi juga kritik, keberanian, dan pengingat bagi kita semua. Itulah seni yang tidak seni."

Ruangan hening. Semua menunggu.

Bapak Idris mengumumkan dengan tegas, "Pemenangnya adalah... Cintia!"

Tepuk tangan pecah. Cintia tersipu, namun dalam hatinya ia tahu: hadiah sejati bukanlah uang lima juta rupiah itu, melainkan keberanian untuk berkata benar di ruang yang sering terbungkam.

Tangerang, 30 September 2025
Oleh: Widodo, S.Pd.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun