Mohon tunggu...
Widodo Antonius
Widodo Antonius Mohon Tunggu... Guru SD Tarsisius Vireta Tangerang

Hobi membaca menulis dan bermain musik

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Darurat Baca Pejabat: Perhatian Bagi Penulis, Penerbit Buku, Murid di Kelas

26 September 2025   10:16 Diperbarui: 27 September 2025   06:57 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Penulis dan Buku ( Sumber: Dokumentasi Pribadi ) 

Darurat Baca Pejabat: Perhatian Bagi Penulis, Penerbit Buku, Murid di Kelas

 

Pendahuluan

 

Bagi setiap orang yang berpikir positif, setiap  masalah atau kesulitan akan dijadikan sebuah peluang dan tantangan. Darurat baca pejabat kita, menjadi peluang dan tantangan bagi penulis bukan sekadar bagaimana memproduksi buku-buku bermutu. Buku yang bermutu saja tidak cukup, karena perlu dicetak oleh penerbit untuk dipublikasikan. Buku yang hanya tersimpan rapi di rak belum tentu menyentuh pembaca. Pertanyaannya, siapa pembacanya? Anak-anak, remaja, orang tua, hingga tokoh publik dan pejabat.

 

Saya pribadi pun ikut mengambil langkah kecil. Buku kumpulan cerpen solo karangan sendiri saya ujicobakan untuk dibaca di perpustakaan sekolah. Dari sana saya bertanya: bagaimana langkah berikutnya? Bagaimana dengan penulis ternama, dengan bentuk apresiasi bagi semua komponen yang berkepentingan untuk membaca---dari kelas hingga pejabat? Bagaimana membaca bisa menjadi gaya hidup, bukan sekadar flexing, melainkan reading?

 

Guru Menulis Buku

Saya mengamati banyak guru yang aktif menulis di Kompasiana. Sehari bisa dua atau tiga artikel mereka hasilkan. Pertanyaan sempat muncul di benak saya: apakah mereka tidak tidur? Ternyata itu memang gaya hidup. Mereka membaca, menulis, dan menulis lagi. Tulisan-tulisan mereka adalah akumulasi dari refleksi hasil membaca. Bahkan artikel saya ini pun lahir dari bacaan-bacaan sebelumnya.

Menulis bagi guru adalah jalan sunyi sekaligus panggung kecil untuk berbagi. Di sana lahir inspirasi, kritik, maupun ajakan untuk lebih melek literasi. Jika guru saja sudah sedemikian tekun, apakah pejabat tidak malu bila jarang membaca?

 

Penulis Hebat

Saya juga mengamati penulis-penulis hebat di Kompasiana. Ada yang berstatus penjelajah, senior, fanatik, hingga maestro. Mereka menjadi figur panutan bagi saya. Bahkan saya pernah menulis artikel dengan menjadikan mereka sebagai referensi. Siapa tahu gaya hidup literasi mereka bisa menular.

Fenomena ini menunjukkan bahwa menulis bukan sekadar menuangkan isi hati, melainkan praktik berkelanjutan yang ditopang oleh kebiasaan membaca. Tanpa bacaan, tulisan akan kehilangan daya pukau.

 

Mengenalkan Manfaat Membaca di Kelas

Sebagai guru, saya percaya bahwa gerakan membaca di kelas adalah langkah awal. Harapannya sederhana: siapa tahu murid-murid ini kelak menjadi pejabat, tetapi tetap aktif membaca. Membaca bukanlah kegiatan sampingan, melainkan bekal berpikir. Dari kelas kecil inilah diharapkan tumbuh generasi yang menjadikan membaca sebagai gaya hidup, bukan sekadar tuntutan akademik.

Kolaborasi dengan Penerbit

Penerbit adalah gerbang penting yang mempertemukan penulis dengan pembaca. Jika penerbit populer belum bisa dijangkau, penulis bisa memulainya dengan penerbit sesuai bujet. Itu langkah realistis sekaligus batu loncatan menuju penerbit berkelas. Kolaborasi penulis--penerbit inilah yang menjaga ekosistem literasi tetap hidup.

Namun, semua kembali pada pembaca. Buku yang diterbitkan dengan susah payah harus sampai ke tangan masyarakat luas, termasuk pejabat yang kerap menjadi sorotan publik.

Harapan bagi Pejabat di Bidang Pendidikan

Kita tentu berharap pejabat di bidang pendidikan benar-benar menjadi teladan membaca. Bukan hanya hadir di seminar literasi, tetapi juga menghidupi bacaan dalam kehidupan sehari-hari. Jika pejabat aktif membaca, ia akan lebih bijak dalam membuat kebijakan. Jika pejabat terbiasa membaca, ia akan lebih mudah memahami suara rakyat yang ditulis dalam berbagai karya.

Gemes dengan Flexing, Bukan Reading

Fenomena flexing pejabat di media sosial semakin marak. Mobil mewah, jam tangan mahal, liburan ke luar negeri---semua dipamerkan. Namun, hampir tak ada pejabat yang pamer sedang membaca buku. Inilah yang membuat kita gemas. Padahal, buku jauh lebih layak dijadikan kebanggaan daripada barang-barang konsumtif.

Flexing bukanlah gaya hidup yang membangun bangsa. Reading---itulah yang menumbuhkan peradaban.

 

Penutup

Darurat baca pejabat adalah panggilan bagi kita semua. Penulis, guru, penerbit, murid, bahkan masyarakat luas memiliki peran penting untuk menjadikan membaca sebagai gaya hidup. Buku yang bermutu harus menemukan jalannya ke tangan pembaca, dari kelas hingga kursi pejabat.

Membaca bukan sekadar hobi, melainkan kebutuhan. Dan di era penuh flexing ini, mari kita lebih lantang menggemakan reading.

 

Oleh: Widodo, S.Pd.
Tangerang, 26 September 2025

 

Daftar Pustaka

 

  • Atmazaki. Literasi Membaca dan Menulis di Era Digital. Jakarta: Kencana, 2021.
  • Kompasiana. Artikel-artikel komunitas literasi guru dan penulis.
  • Nugroho, Heru. Budaya Baca dan Masa Depan Bangsa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2020.
  • Sastrawan Indonesia. Esai dan Catatan Literasi. Jakarta: Bentang, 2019.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun