Mohon tunggu...
Widodo Antonius
Widodo Antonius Mohon Tunggu... Guru SD Tarsisius Vireta Tangerang

Hobi membaca menulis dan bermain musik

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mbok Ginah Menguji Karisma Pejabat Negeri

24 September 2025   11:20 Diperbarui: 24 September 2025   11:20 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi  Suasana Desa Mbok Ginah ( Sumber: pixabay.com ) 

Mbok Ginah Menguji Karisma Pejabat Negeri

Oleh: Widodo, S.Pd.

Sesajian berupa tumpeng kecil, kembang setaman, dan kendi berisi air sumur sudah tersusun rapi di atas tampah. Asap kemenyan mengepul perlahan, menari bersama angin malam yang bertiup lembut. Malam itu halaman makam desa penuh dengan bisik-bisik orang yang hadir. Mereka hendak menyaksikan upacara pemasangan nisan seribu hari kepergian almarhum Haryo.

Mbah Kerto, pendoa sepuh desa, menyalakan kemenyan di tangan. Sementara Pak Barno, Pak Bambang, dan Pak Wiro sibuk menyiapkan tanah di sisi nisan. Hening sesaat ketika doa dipanjatkan. Hanya suara jangkrik yang berani mengisi sela kesunyian.

Namun entah mengapa, selepas upacara itu, hidup Pak Wiro tak lagi sama. Tubuhnya sering menggigil tanpa sebab. Kadang, di malam buta, ia berteriak dengan suara yang bukan suaranya. Matanya melotot, suaranya parau, seperti orang lain yang berbicara dari dalam dirinya. Desa pun gempar: "Pak Wiro kesurupan roh!" begitu kata mereka.

Di antara orang desa, hanya satu sosok yang tahu apa sebenarnya yang terjadi: Mbok Ginah. Ia bukan orang sembarangan. Pendoa yang hidupnya sederhana itu menyimpan kekuatan doa dan mantra yang diwariskan turun-temurun.

Suatu malam, ketika Pak Wiro kembali kerasukan, Mbok Ginah dipanggil. Dengan lirih ia membaca doa. Mantranya seperti aliran sungai yang tak pernah putus, pelan tapi kuat. Tiba-tiba tubuh Pak Wiro bergetar hebat, lalu dari telinganya seolah muncul ribuan lebah hitam. Mereka berputar-putar di udara sebelum lenyap ditelan gulita.

"Itu bukan sembarang roh," gumam Mbok Ginah pelan. Namun ia tak mengatakan lebih banyak.

Sejak malam itu, Mbok Ginah memperkuat tapa brata. Ia ingin mengetahui siapa sesungguhnya yang sering memasuki tubuh Pak Wiro. Bertahun ia menempuh doa, lelaku, hingga akhirnya pada suatu malam purnama, ia berhasil memanggil salah satu roh yang berkeliaran itu.

Roh itu mengaku sebagai prajurit Haryo Penangsang, yang gugur ratusan tahun silam. Para prajuritnya, kehilangan pemimpin, kini gentayangan antara dunia nyata dan dunia roh. Mereka mencari tubuh untuk menumpang, menyalurkan amarah dan rindu yang tak kunjung padam.

"Banyak pemimpin negeri ini yang memanggil kami," bisik roh itu, suaranya berat bagai bergema dari dasar sumur. "Ada yang ingin kami beri karisma kepemimpinan. Ada yang ingin kami jadikan penguasa. Tetapi tak semua berjalan lurus. Ada yang bijak menggunakan kami untuk menuntun rakyatnya. Namun tak sedikit pula yang salah arah---rakus, menguras harta negeri, dan lupa akan janji."

Mbok Ginah mendengar dengan hati bergetar. Ia tahu, dunia roh dan dunia manusia tak pernah benar-benar terpisah. Mereka saling menembus, saling meminjam.

Namun yang paling mengerikan adalah pengakuan roh itu: jika seorang pemimpin lupa memberi aji kawibawan---sesaji kecil yang dijanjikan---maka roh prajurit akan murka. Lidah sang pemimpin bisa tergelincir, salah bicara di hadapan rakyat, bahkan kehilangan wibawa seketika.

Orang-orang desa hanya tahu Pak Wiro sering kerasukan. Mereka tak pernah paham apa yang sesungguhnya bersemayam di balik tubuhnya. Dan Mbok Ginah tak pernah menceritakan semuanya.

Ia hanya tersenyum samar ketika ditanya, seakan menyimpan rahasia besar.
Sebab bagi Mbok Ginah, ada hal-hal yang hanya layak diketahui segelintir orang.

Sepucuk Surat untuk Mbok Ginah

Suatu malam ketika angin bertiup dingin dari arah utara, Mbok Ginah terjaga dari tidurnya. Suara ketukan halus terdengar dari pintu kayu rumahnya. Tak ada seorang pun di luar ketika ia membuka, hanya selembar kertas lusuh yang tergeletak di atas dipan bambu di teras.

Tangan Mbok Ginah bergetar ketika mengambil kertas itu. Tulisan di atasnya bukan tinta biasa, melainkan goresan hitam pekat seperti jelaga kemenyan. Huruf-hurufnya tegak, kokoh, seperti ditulis dengan tangan seorang prajurit.

"Wahai Mbok Ginah, penjaga doa dan penenang jiwa. Aku prajurit Haryo Penangsang, yang terlempar dari medan perang berabad-abad silam. Tubuhku binasa, tetapi pasukan kami masih mengembara, kehilangan komando. Kami menumpang pada tubuh manusia agar bisa merasakan kembali detak kehidupan. Namun kami haus arah, haus kepemimpinan.

Kau telah memanggilku dengan doa dan lelaku. Maka kutitipkan rahasia ini: jangan biarkan sembarang pemimpin memanfaatkan kami untuk keserakahan. Jika salah langkah, bukan wibawa yang mereka dapat, melainkan kutuk kehancuran.

Ingatlah, roh prajurit tak mengenal waktu. Kami bisa mengangkat, bisa pula menjatuhkan."

Mbok Ginah merasakan hawa dingin merayap di sekujur tubuhnya. Surat itu perlahan berasap, lalu terbakar tanpa api, menyisakan abu tipis di telapak tangannya.

Ia tahu, malam itu ia bukan sedang bermimpi. Roh Haryo Penangsang benar-benar menitipkan pesan. Dan sejak saat itu, beban rahasia semakin berat di pundak Mbok Ginah.

Dan kini, misteri itu tetap hidup---hanya Mbok Ginah yang tahu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun