Ketika Bul-bul Bernyanyi di Tepi Kota
Oleh: Widodo, S.Pd.
Senja itu hutan kecil di pinggiran kota masih menyimpan bisik rahasianya. Pepohonan yang rimbun jadi tempat hinggap burung bul-bul yang merdu suaranya. Dari balik rimbun daun, suara kicauannya seperti doa panjang yang menenangkan hati. Di sela semak, seekor biawak perlahan menampakkan diri, merayap tenang menuju aliran sungai kecil yang berliku di tengah hutan.
Mereka telah lama hidup di sana, di antara akar pepohonan, rerumputan liar, dan udara segar yang tak ternilai. Namun kabar mulai beredar: lahan itu akan dibangun perumahan mewah. Buldozer dan alat berat sudah bersiaga, menunggu perintah. Hutan itu, tempat bul-bul bernyanyi dan biawak mencari makan, sebentar lagi hanya tinggal cerita.
Benar saja. Dalam hitungan minggu, batang-batang pohon tumbang, tanah dikeruk, sungai kecil pun mulai menyempit. Burung bul-bul tak lagi bebas menjeritkan lagunya. Mereka terpaksa bertahan di sisa-sisa pohon yang tak sempat ditebang. Sementara biawak menyelinap ke got-got yang gelap dan lembap, mencari sisa kehidupan.
Namun ada yang berbeda di kampung itu. Penduduk setempat ternyata tidak mengusik satwa-satwa tersebut. Ada rasa iba sekaligus hormat. "Biarlah mereka hidup di sini. Mereka juga makhluk Tuhan," kata Pak Samin, tetua kampung. Sejak itu, warga hanya diam-diam mengamati, membiarkan burung dan biawak mencari ruang hidupnya sendiri di sela beton yang makin mengeras.
Hingga suatu hari, seorang anak sekolah bernama Arka, murid SMP yang tinggal di perumahan baru itu, melihat burung bul-bul sedang bertengger di pagar rumahnya. Matanya berbinar. "Ayah, lihat! Burung kecil ini cantik sekali. Suaranya indah, tapi mengapa ia seperti ketakutan?" tanyanya polos.
Ayahnya, seorang pejabat daerah yang ikut mengatur tata ruang, terdiam. Hatinya tersentuh. Selama ini ia sibuk mengurus proyek, tak terpikirkan olehnya makhluk-makhluk kecil yang tergusur. Kini, suara anaknya seperti alarm nurani.
Malam itu, mereka berbincang panjang. Arka bercerita bagaimana ia juga pernah melihat biawak menyelinap ke got. "Kasihan, Yah. Mereka seperti kehilangan rumah. Bisa tidak kita bantu mereka?"
Senyum ayahnya mengembang. "Kamu benar, Nak. Satwa juga punya hak hidup. Kita harus cari jalan."
Esok harinya, ia berkoordinasi dengan dinas lingkungan. Setelah melalui diskusi panjang, akhirnya diputuskan: satwa-satwa itu akan dipindahkan ke sebuah hutan kota yang lebih jauh, namun aman dan rindang. Proses pemindahan dilakukan dengan hati-hati. Anehnya, seakan mengerti, burung bul-bul dan biawak tidak melawan. Seperti ada naluri yang memandu mereka menerima takdir baru.