Ia tersenyum lembut, penuh kedamaian. Lalu mendekat dan berkata pelan, "Salam damai. Hendaklah kamu menjadi murid Yesus yang tahu diri."
Aku terbangun. Dada masih bergemuruh. Kata-kata itu sederhana, tapi terasa dalam. Murid Yesus yang tahu diri...
Sepanjang hari, kalimat itu bergema di hatiku. Tahu diri---mungkin tentang tahu kapan harus mengalah. Tahu kapan memberi tempat untuk yang lain. Tahu bahwa hadir secara fisik tak selalu lebih mulia dari memberi ruang bagi orang lain untuk mengalami keajaiban. Mungkin, justru dalam melepaskan, aku belajar menjadi murid yang sesungguhnya.
Aku tak melihat Paus Fransiskus secara langsung. Tapi pesan itu datang melalui cara yang lebih dalam---dalam keheningan mimpi, ketika jiwa terbuka tanpa topeng. Dan bukankah Tuhan sering berbicara justru lewat cara yang tak kita sangka?
Kini, setiap kali melihat ulang rekaman kunjungan itu di televisi, aku tersenyum tenang. Bukan karena aku ketinggalan, tapi karena aku mendapat bagian yang tak tertukar---sebuah pesan, dan damai yang tinggal di hati.
18. Doa di Perjalanan
Sore itu langit Binong berwarna kelabu. Jalanan mulai padat, tetapi di dalam mobil kami, suasana hangat menyelimuti. Aku dan istriku kembali menjalankan tugas kecil yang sering kami lakukan beberapa tahun terakhir ini: menjemput pastor untuk misa lingkungan.
Di kursi belakang duduk pastor Wahana, OSC. Pastor yang tenang, lembut, tapi tajam dalam kata-kata. Perjalanan kali ini dari Binong menuju Gereja Katolik Tangerang, cukup memakan waktu, dan kami manfaatkan untuk berbincang.
"Banyak ujub ya akhir-akhir ini, Pak?" tanya Romo membuka percakapan.
Aku mengangguk. "Ya, Romo. Ada yang syukuran, pemberkatan rumah, dan... yang paling banyak akhir-akhir ini, permohonan untuk orang sakit."
Istriku menambahkan, "Di lingkungan kami, ada beberapa umat yang sakit bertahun-tahun, Romo. Dari kanker sampai paru-paru. Kadang kami bingung, harus berdoa seperti apa agar mereka kuat, atau bahkan sembuh."