Kami duduk di bangku panjang di taman samping gereja, di bawah pohon angsana yang sedang berbunga. Pastor Darmawan mengingat kembali masa pandemi, saat semua aktivitas berpindah ke layar kecil bernama Zoom. Ketika itu, aku dan istriku diundang sebagai narasumber seminar keluarga.
"Saya masih ingat ekspresi Bapak waktu saya minta sebutkan satu kelebihan dan satu kekurangan istri," kata Pastor sambil tertawa kecil. "Wajah Bapak langsung merah padam seperti tomat direbus!"
Aku menepuk dahiku, geli sekaligus malu. "Itu jebakan, Pastor. Saya benar-benar tak siap!"
"Kebanyakan suami begitu," katanya. "Tapi yang menarik justru reaksi spontan itu. Jujur, lucu, dan menghangatkan."
Memang, waktu itu kami diminta menjawab bergantian: apa kelebihan dan kekurangan pasangan. Istriku menjawab dulu, lancar dan lembut. Giliran aku? Satu kata saja rasanya seperti menggenggam bara.
Tapi di situlah kepiawaian Pastor Darmawan tampak. Ia bukan hanya moderator, tapi pengarah suasana. Dengan gaya jenakanya yang khas, ia mengomentari jawaban kami dengan ringan namun mendalam. Suasana jadi cair, tawa pun meledak dari para peserta Zoom.
"Padahal itu forum rohani," celetukku.
"Rohani bukan berarti harus kaku," jawab Pastor Darmawan. "Dalam keluarga, tawa juga bentuk kasih. Apalagi tawa yang lahir dari kejujuran."
Aku mengangguk. Saat itu, kami memang belajar sesuatu: bahwa kehidupan rohani keluarga bukan hanya soal doa dan aturan, tapi juga soal menerima, mengampuni, dan tertawa bersama, termasuk menertawakan kekurangan masing-masing.
"Terima kasih, Pastor," kataku lirih. "Saya bangga pernah jadi bagian dari momen itu."
Pastor Darmawan tersenyum. "Saya juga. Banyak pasangan terinspirasi dari kesaksian kalian. Justru karena kalian tampil apa adanya."