"Karena kami dibesarkan dalam kesunyian yang mendalam. Di desa kami, tak banyak hiburan. Tapi banyak tempat untuk merenung. Kami diajarkan sejak kecil untuk diam, untuk mendengar suara hati. Bukit Menoreh mengajarkan kami kesetiaan pada proses."
Aku terdiam, merenungkan kata-katanya. Ada keindahan dalam kesunyian yang tak bisa dijelaskan hanya dengan logika. Barangkali itulah sebabnya taman doa Sendang Sono, tempat ziarah terkenal itu, dibangun di sana---di tempat sunyi yang merawat batin.
Pak Rano melanjutkan ceritanya tentang perjalanan hidup, tentang zaman dulu yang serba terbatas namun penuh makna. Ia tak sedang bernostalgia berlebihan, tapi mencoba menunjukkan bahwa dari akar kesederhanaan bisa tumbuh batang kehidupan yang kokoh.
"Kadang kita sibuk mengejar yang jauh," katanya sambil menatap langit. "Padahal kekuatan terbesar justru ada di tempat asal kita."
Aku mengangguk perlahan. Dalam hati, aku merasa seperti pulang, bukan hanya pulang ke sekolah lama, tapi juga pulang ke kesadaran bahwa kehidupan tak selalu harus gemerlap untuk menjadi berarti.
Ketika kami berpisah, ia menepuk pundakku dan berkata pelan, "Kalau sempat, kunjungilah Sendang Sono. Di sana, diam bukan berarti kosong. Tapi penuh."
Langkahku terasa lebih ringan sore itu. Pertemuan dengan Pak Rano, membuka jendela kenangan dan menyadarkanku akan pentingnya kembali ke akar, meski hanya sejenak, untuk mengingat dari mana kita tumbuh.
15. Canda yang Mengikat Waktu
Â
Pagi itu, hujan baru saja reda. Jalanan di sekitar kompleks pendidikan tempat aku pernah mengajar masih basah dan mengkilap. Aku datang untuk menghadiri sebuah rapat alumni yayasan. Tak kusangka, selain membicarakan hal-hal formal, aku justru disuguhi satu peristiwa yang lebih bermakna: sebuah pertemuan lama yang tak pernah kutebak akan terjadi.
Dari kejauhan, aku melihat seorang pria paruh baya, posturnya masih tegap, wajahnya cerah, rambutnya mulai memutih namun senyum lebarnya tak berubah sedikit pun. Aku mengenalnya seketika.