Aku baru bangun tidur. Masih dalam selimut. Tapi hatiku sudah terbang ke Jakarta. Bayangan Ibu Ubawati berdiri bingung di terminal menari-nari dalam pikiran. Tanpa pikir panjang, aku transfer satu juta.
Baru siang harinya, setelah segelas kopi menyadarkan logika, aku tahu nomor itu sudah di-hack. Ibu Ubawati bahkan belum keluar kota!
Lain lagi dengan Agus, anak kos yang sedang kuliah di perguruan tinggi negeri. Suatu pagi ia mendapati saldo rekeningnya membengkak dua puluh juta rupiah. Ia kaget bukan main.
"Wah, mimpi apa aku semalam? Orang tuaku belum gajian," gumamnya.
Ternyata uang itu berasal dari pinjaman online yang entah bagaimana menyusup ke datanya. Agus tidak pernah mengajukan pinjaman. Tapi di mata sistem, ia seolah telah meminjam. Dan bunganya pun terus menumpuk seperti semut di kaleng susu tumpah.
Dengan bantuan orang tuanya, Agus melapor, mengurus, dan mengembalikan dana itu. Tapi trauma tetap tinggal.
Penipuan kini tidak melulu soal ancaman atau tipu daya kasar. Ada juga yang datang dengan senyum dan harapan.
Yoyon, temanku sejak SMA, tergoda ikut investasi online yang katanya bisa melipatgandakan uang. Ia menabung secara digital, mencicil mimpi yang katanya akan berbunga dalam tiga bulan.
Empat bulan berlalu. Lalu lima. Lalu enam. Aplikasi menghilang, dan mimpinya ikut raib di balik awan gelap dunia maya.
Tak hanya di kota, di kampung pun para penipu menyasar siapa saja.
Orang tuaku yang tinggal di desa pernah ditelepon seseorang yang mengaku sebagai anaknya sendiri. "Pak, Bu, tolong segera kirim uang, ini aku, anakmu..." katanya.