Oleh: Widodo, S.Pd.
Â
"Anak Ibu jatuh dari tangga sekolah," suara di ujung telepon terdengar cemas.
Amariah, yang sedang menyiapkan makan siang di dapur, refleks menjepit ponsel di antara bahu dan telinganya, sementara tangan gemetar memegang sendok sup.
"Sekarang anak Ibu ada di ruang ICU Rumah Sakit Keluarga Dekat. Ini serius, Bu. Harus segera ditangani. Biaya pengobatannya butuh dana awal, mohon segera transfer ke rekening ini, ya..."
Tanpa banyak tanya, Amariah berlari ke kamar, mengambil dompet, membuka aplikasi mobile banking, dan... klik, dana jutaan rupiah melayang. Semuanya demi Keke, anak semata wayangnya yang ia kira sedang berjuang di ruang ICU.
Setengah jam kemudian, setelah hati mulai reda, ia menelepon wali kelas. Suaranya bergetar. Tapi justru, dari seberang, terdengar tawa anak-anak dan suara gurunya yang heran.
"Bu Amariah, Keke barusan ikut lomba cerdas cermat. Sehat-sehat saja, Bu. Tidak ada yang jatuh."
Jantung Amariah serasa disayat pisau dingin. Ia ambruk di sofa, menatap layar ponsel yang baru saja menjadi saksi kebodohannya---atau lebih tepatnya: ketulusannya yang disalahgunakan.
Beberapa hari kemudian, aku pun mengalami kejadian serupa. Pagi-pagi buta, sebuah pesan WhatsApp masuk. DP-nya wajah Ibu Ubawati---teman pengajian yang baik, ramah, dan santun. Ia bilang sedang di luar kota, dompetnya hilang, dan ATM-nya terblokir.