Oleh: Widodo, S.Pd.
Ketika aku sudah dewasa, ayah mulai suka bercerita. Bukan karena ia baru mengingat semuanya, tapi karena katanya aku kini cukup kuat untuk memahami kisah hidupnya yang dulu kelam dan getir.
"Dulu, sebelum jadi pegawai negeri seperti sekarang, Ayah pernah kerja sebagai tenaga pembersih pasar," katanya sambil tersenyum kecil, matanya menerawang seolah melihat kembali masa lalu.
"Pembersih pasar?" tanyaku.
"Iya. Tapi bukan sembarang pasar. Pasar hewan."
Aku membayangkan bagaimana ayah membersihkan lethong --- kotoran sapi, kerbau, dan kuda --- setiap pagi sebelum matahari naik. Ia tidak malu, tidak mengeluh. Kata ayah, pekerjaan adalah kehormatan, bukan soal kotor atau bersihnya, tapi soal tanggung jawab dan kejujuran.
Setelah beberapa tahun, ia dipindah ke pasar sayur. Lebih bersih, katanya, tapi tantangannya tetap ada. "Sayur itu gampang busuk. Kadang, baunya juga menyengat. Tapi dibanding lethong, itu masih ringan."
Karena kerja keras dan disiplin, akhirnya ayah diangkat menjadi pegawai negeri sipil, ditempatkan di Dinas Pendapatan Pasar. Di sanalah cerita lain dimulai. Ayah memang berwajah tampan. Sikapnya ramah, tutur katanya ringan dan humoris. Tak heran banyak pedagang wanita yang terang-terangan menggoda. Namun ayah tetap setia.
"Hati Ayah cuma untuk ibumu," katanya sambil menepuk tanganku. "Padahal banyak yang heran, kenapa Ayah memilih perempuan yang usianya sepuluh tahun lebih tua?"
Ibuku saat itu adalah pedagang pasar juga. Tidak kaya, tidak muda, tetapi tekun dan berhati kuat. Ayah berkata, dari semua perempuan yang ia temui, hanya ibu yang berani menolak godaan dunia.
Tapi cinta mereka tidak berjalan mulus. Ada banyak yang tidak suka. Bahkan, katanya, ada yang sampai menggunakan guna-guna. Ayah pernah merasa dirinya kehilangan arah, seperti dicengkeram bayangan asing yang bukan dirinya. Namun doa ibu menyelamatkannya. Ibu memang punya keyakinan kuat. Di masa itu, agama belum begitu mengakar di desa kami, namun kepercayaan dan doa tetap menjadi pelindung utama.