Mohon tunggu...
Widodo Antonius
Widodo Antonius Mohon Tunggu... Guru SD Tarsisius Vireta Tangerang

Hobi membaca menulis dan bermain musik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pusaka di Tepi Telaga

26 Mei 2025   07:15 Diperbarui: 24 Mei 2025   22:24 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Gambar Pilihan ChatGPT

Pusaka di Tepi Telaga

Oleh : Widodo, S.Pd.

Namaku Jatmika. Aku hanyalah abdi biasa di istana, namun takdir memberiku tugas yang tak pernah kubayangkan: menjaga pusaka kerajaan yang menjadi lambang kejayaan leluhur. Kala itu, negeri kami sedang dijajah Belanda. Istana porak-poranda, dan Raja terpaksa menyingkir demi keselamatan rakyat dan kelangsungan warisan kerajaan.

"Jatmika," titah Baginda Raja sebelum berangkat menuju pengasingan, "kau yang kupilih menjaga pusaka ini. Bawalah ke Padepokan Eyang Suci. Hanya beliau yang dapat menyembunyikan dan melindunginya."

Aku mengangguk, meski hatiku gentar. Nama Eyang Suci begitu harum, tapi juga penuh misteri. Konon, beliau bukan manusia biasa. Ia seorang pertapa suci yang hidup di tepi telaga dalam goa sunyi di pegunungan Menoreh. Ia dihormati karena ilmu dan budi pekertinya, namun juga ditakuti oleh mereka yang berniat jahat.

Perjalananku panjang dan penuh rintangan. Setelah melewati hutan lebat dan lereng terjal, akhirnya aku tiba di padepokan itu. Letaknya tenang di tepi telaga bening yang memantulkan langit seperti cermin.

Eyang Suci menyambutku dengan senyum lembut. Rambut dan janggut putihnya menyapu dada, sorot matanya tenang namun tajam. "Bawalah pusaka itu ke dalam," katanya pelan. "Kita akan menjaganya bersama."

Hari-hariku di padepokan dipenuhi ketenangan. Eyang Suci tidak hanya melindungi pusaka, tapi juga membimbing warga sekitar. Ia mengajari mereka menanam padi, merawat kebun, hingga cara menyanyikan doa syukur saat panen tiba. Ketika malam datang, gamelan dipukul dengan irama lembut, mengiringi tari Tayub yang membuat semua lupa sejenak pada derita penjajahan.

"Agar hidup tentram," kata Eyang suatu hari, "manusia harus tahu tiga hal: bekerja, bersyukur, dan berhibur."

Namun tak semua menyukai ajaran itu.

Di desa, ada seorang preman bernama Renggono. Ia dikenal sakti, pengikut ilmu hitam, dan pembenci Eyang Suci. "Orang tua itu sok suci!" katanya suatu malam. "Mari kita lihat seberapa hebat dia."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun