Mohon tunggu...
Widz Stoops
Widz Stoops Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Penulis buku “Warisan dalam Kamar Pendaringan”, Animal Lover.

Smile! It increases your face value.

Selanjutnya

Tutup

Beauty Pilihan

Rinduku pada Ibu, Jadi Sebuah Karya yang Tidak Terduga

31 Mei 2021   02:49 Diperbarui: 31 Mei 2021   02:59 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aku sedang berjalan menuju panggung (dokpri)

Ibuku ditinggal mati ibunya saat masih berumur belasan tahun. Demi adik-adiknya Ibu berhenti sekolah dan menggantikan tugas Ibunya mengurus rumah, memasak dan menjaga adik-adik.

Pengalaman itu membuat Ibu menjadi seorang yang terampil, pandai memasak, mendesain dan menjahit baju. Semuanya ia pelajari secara otodidak.

Setelah menikah, ketrampilan tersebut dimanfaatkan Ibu untuk mencari tambahan uang guna mencukupi keperluan sehari-hari saat keadaan ekonomi  morat-marit karena perusahaan tempat Daddy (Ayah) bekerja bangkrut.

Sayangnya, kemahiran Ibu tidak menurun kepadaku, anak perempuan satu-satunya. Meski saat duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama pernah ada kurikulum keterampilan di sekolah dan aku sempat meminta Ibu mengajariku bagaimana cara menggunakan mesin jahit.

Teringat saat itu aku mendesain sebuah baju anak-anak, ibu membantu mengajariku bagaimana cara merubah design menjadi pola dan akhirnya menjadi sebuah baju.

Baju tersebut menjadi favorit dan terpilih sebagai salah satu karya yang dipamerkan di Sekolah Menengah Pertamaku waktu itu.

Setelah lulus SMP dan melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya, minatku menjahit tiba-tiba hilang. Pernah terlintas di benakku, aku takingin seperti Ibu. Hanya diam di rumah, tidak bisa pergi ke mana-mana karena harus bekerja keras memasak dan menjahit. Hasil jerih payahnya? Tidak seberapa!

Tuhan rupanya mendengar keinginanku. Saat masih tinggal di Jakarta, aku pernah bekerja pada sebuah perusahaan besar di Indonesia yang bergerak di bidang MICE (Meeting, Incentive, Convention and Exhibition).

Sepuluh tahun selama bekerja di sana, aku mendapatkan kesempatan melakukan banyak perjalanan baik di dalam maupun di luar negeri.

Setelah menikah dan menetap di negeri orang, aku sering rindu Ibu. Kadang aku ingin kembali ke masa lalu, meminta Ibu mengajari aku memasak dan menjahit baju.

Tapi usia Ibu kini hampir sembilan puluh, rasanya tak mungkin untuk melakukan itu. Jangankan menjahit, bahkan memasak Ibu sudah tidak melakukannya lagi,  Resep masakanpun sudah banyak yang beliau lupa.

Untungnya, bakat kreativitas menurun kepadaku. Walau bukan kreativitas dalam merancang baju atau menciptakan sebuah makanan.

Hingga suatu ketika, di tahun sebelum pandemi tiba. Perusahaan tempatku bekerja di sini hendak bersiap-siap meluncurkan produk baru.

Namun sebelumnya, Perusahaan terlebih dahulu memperkenalkan produk tersebut secara internal melalui sebuah gathering  karyawan yang mana setiap kantor cabang harus membuat sebuah karya.

Apapun jenis karya tersebut harus dikoloborasikan dengan produk yang sebentar lagi akan diluncurkan.  

Di kantor cabang tempatku bekerja, setiap ada even yang menuntut kreativitas, mereka pasti menyerahkannya kepadaku. Aku sendiri lupa apa yang menyebabkan mereka begitu mempercayaiku dalam hal yang satu ini.

Kami hanya diberi waktu selama dua minggu. Mulanya aku akan menciptakan  lagu yang lirik-liriknya adalah tentang produk tersebut. Tapi kemudian aku ingat kalau aku pernah menciptakan lirik lagu yang dilombakan dalam acara "Summit" yang diadakan Perusahaan beberapa tahun lalu dan alhamdulillah menang.

Jadi aku pikir, aku ingin membuat sebuah karya yang berbeda kali ini, walau tidak tahu apa.

Seminggu hampir berlalu, aku masih belum menemukan ide. Orang-orang di kantorku hampir setiap hari menanyakan. Aku juga mendengar kalau kantor cabang lain banyak yang telah merampungkan idenya.

Beberapa cabang mempunyai ide yang sama. Ide mereka antara lain adalah lukisan, lagu, tarian, cerita dan puisi. Dalam hati aku berkata, aku ingin sesuatu yang berbeda.

Hingga suatu sore pulang kerja, tetiba aku kangen sayur asem buatan Ibu. Tidak ada restoran Indonesia yang dekat dengan tempat tinggalku, untuk pengobat rindu aku sempatkan mampir ke sebuah restoran Thailand dan memesan sup "Tom Yam". Bagiku rasa sup itu hampir mendekati rasa sayur asem buatan Ibu.

Sup pesanan untuk kubawa pulang ditaruh dalam sebuah mangkuk plastik lengkap dengan tutupnya kemudian dikemas lagi dengan menggunakan   aluminum foil atau kertas timah.

Itu dilakukan tidak hanya untuk menjaga suhu sup agar tetap hangat (maklum saat itu sudah memasuki musim dingin), tapi juga agar kemasan terlihat sangat anggun.

Tuing! Tetiba bohlam di kepalaku menyala! Menciptakan sesuatu dari kertas timah! Apakah itu? Aku sendiri belum tahu! Hanya satu prioritas yang ada di benakku, membeli kertas timah sebelum pulang ke rumah!

Pada saat sedang membeli kertas timah, ada seorang ibu menuntun anak perempuannya yang menenteng tas kecil. Ingatanku kembali melayang ke masa kecil dulu.

Ibu tak pernah membelikan baju dan tas untukku karena semuanya dibuat sendiri oleh beliau. Ah; aku semakin rindu Ibu!

Tuing! Bohlam lampu dibenakku semakin terang. Ya, kali ini aku yakin aku akan membuat baju dari kertas timah!

Selesai makan malam, aku mulai membuat desain baju. Beberapa kali aku video call dengan ibu, meminta pendapatnya bagaimana cara mengukur badan dengan benar dan cara membuat pola.

Kenangan indah masa kecil dulu seperti terulang kembali. Saat dimana Ibu mengajariku cara membuat pola dan menjahit, bedanya interaksi dengan ibu kali ini adalah secara digital. Terima kasih Teknologi!

Gaun kertas timah itu akhirnya rampung, untuk memberi sedikit warna kutempelkan brosur dari produk baru pada bagian badan depan dan punggung belakang.

Taklupa kuberi sentuhan oriental pada gaun itu, keterangan detail dan juga masukan-masukan mengenai produk tersebut kucetak diatas kertas hijau (warna logo Perusahaan). Kertas-kertas hijau tersebut kubentuk seperti kipas dan kutempelkan pada kedua bahu, sedangkan kipas-kipas lainnya kusatukan hingga berbentuk lingkaran dan kutempel pada bagian belakang rok yang sengaja kubuat panjang menyentuh 

Tampak dari belakang (dokpri)
Tampak dari belakang (dokpri)
Singkat cerita, saat gaun timahku dipamerkan pada  acara gathering, banyak yang berdecak kagum dan tak percaya kalau itu adalah karyaku. Walhasil gaun itu terpilih sebagai juara satu.

Selepas acara, Talent Manager Perusahaan menghampiriku. Ia ingin mengikut sertakan hasil karyaku pada sebuah acara fashion show yang diadakan oleh Chambers of Commerce setempat.

Gaun kertas timah itu kubuat dengan ukuran badanku yang "petite" untuk ukuran orang di sini. Yang artinya hanya akulah yang bisa mengenakannya. Jadi otomatis akulah yang akan menjadi modelnya nanti.

Menjadi model dan berjalan di atas catwalk? Tak pernah sedikitpun terlintas dibenakku! Aku merasa terlalu tua, takut dan sungkan rasanya untuk berjalan berlenggak-lenggok.

Aku kemudian berpikir kalau tanganku dapat menggenggam sesuatu erat-erat mungkin akan membantu mengatasi ketakutan dan kesungkananku. Tapi apa kiranya yang mesti kugenggam?

Saat terpilih menjadi juara satu pada acara gathering, aku diberikan sebuah tongkat bertuliskan "Spirit of Recognition" jadi aku putuskan itu yang akan kugenggam nanti.

Spirit of Recognition (Dokpri)
Spirit of Recognition (Dokpri)
Tongkat itu terlalu sederhana bagiku, akhirnya kubuat wajah owl atau burung hantu diatasnya, terbuat dari karton gelondongan tissue tidak terpakai yang kulapisi dengan kertas hijau. Matanya kubuat dari kancing baju, tak lupa kuberi manik-manik hijau pada bagian leher agar terlihat sedikit glamour.

Mengapa kupilih wajah burung hantu? Disamping burung hantu termasuk salah satu burung yang dilindungi di sini, aku juga sangat menyukai filosofi orang Indian tentang burung ini. Orang Indian kuno percaya bahwa burung hantu menyimpan segudang pengetahuan, tapi itu tidak membuatnya menjadi sombong.

"The more he saw the less he spoke; The less he spoke the more he heard"

Artinya, semakin banyak ia melihat, semakin sedikit ia bicara, semakin sedikit ia bicara semakin banyak ia mendengar.

Pada acara gathering, delapan juri penilai memberiku kotak-kotak magnet berisi kata pujian seperti, awesome, great job, well done, fantastic dan lain-lain. Kotak-kotak magnet tersebut aku susun di atas kertas timah hingga menjadi gelang yang kupakai saat berjalan di catwalk.

Aku memamerkan gelang buatanku saat menuju panggung (dokpri)
Aku memamerkan gelang buatanku saat menuju panggung (dokpri)
Akhirnya tibalah aku di acara Fashion Show Chambers of Commerce. Pada penghujung acara mereka mengumumkan para pemenangnya. Aku berhasil menduduki juara ketiga. Senang rasanya disejejerkan dengan juara satu dan dua yang memang benar-benar asli desainer lokal yang sudah cukup ternama di daerahku.


Aku telah berhasil mengolah rasa rinduku kepada Ibu menjadi sebuah karya yang takterduga. Mengalir di pipiku air mata bahagia saat itu, ah, aku cuma ingin Ibu bangga!

Widz Stoops, PC-USA 05.30.2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Beauty Selengkapnya
Lihat Beauty Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun