Bagi orang yang sangat taat protokol kesehatan, rasanya gemas dan kesal sekali saat melihat orang-orang yang tidak memakai masker di tempat umum.
"Masker sudah murah banget harganya, kok masih aja nggak mau makai masker?" Mungkin inilah kalimat yang tepat menggambarkan kegeraman tersebut.
Saya akui, semula saya pun selalu saja kesal ketika menjumpai orang-orang semodel ini. Naik motor santai saja tanpa masker, jaga warung pun demikian.
Namun, pendapat saya berangsur-angsur berubah. Ternyata memang ada lapisan masyarakat yang harus berpikir ulang untuk menyisihkan pendapatannya guna membeli masker.
Bukan karena bandel dan tidak takut corona, bukan. Namun ada kelompok masyarakat yang sebenarnya takut juga terkena virus corona, tetapi di satu sisi mereka juga harus berhitung.
Itulah juga mengapa ada orang-orang yang terlihat memakai masker bedah ataupun masker kain tapi dengan kondisi terlihat sudah kumal. Mungkin masker itu sudah seharian dipakainya tanpa pernah berganti. Bahkan tak menutup kemungkinan ada yang memakainya berulang meski sudah berganti hari.
"Nyari untung seribu aja susah sekarang Pak, kok malah buat beli masker?" ujar seorang pedagang kaki lima yang sempat saya ajak ngobrol.
Baginya, jika ada orang yang memberinya masker, maka dengan senang hati ia akan memakai. Ia juga menyimpan satu masker kain untuk jaga-jaga apabila ada razia. Tapi ia bakal berpikir seribu kali untuk mengeluarkan uang guna membeli masker baru.
Selain masker kumal atau dekil, tak jarang pula para pekerja di jalanan mengandalkan masker jenis buff yang nyata-nyata sejak awal pandemi sudah tidak dianjurkan. Masker ini selain longgar, juga jadi favorit karena mudah dinaik turunkan sampai leher.
Padahal idealnya sih, kata para ahli, masker yang layak pakai maksimal dapat digunakan selama 4 jam, setelah itu harus diganti yang baru atau steril. Maka coba hitung saja andai seseorang beraktivitas di luar rumah untuk bekerja selama 12 jam, semestinya orang tersebut membutuhkan 3 masker dalam sehari.
Padahal orang-orang yang bekerja di jalanan, seperti pedagang kaki lima, tukang parkir, tukang ojek, pak ogah di perempatan, pemulung, dan lain-lain, bisa saja lebih dari 12 jam mereka bekerja dalam sehari.
Oke, kita nggak bicara merk dan kualitas masker, tapi harga eceran masker paling murah di pasaran adalah seribu rupiah. Andai seseorang butuh 3 masker dalam sehari, maka ia harus menyisihkan uang tiga ribu rupiah dalam sehari. Coba kalikan 30 hari, jumlahnya tembus ke angka 90 ribu rupiah untuk kebutuhan masker dalam sebulan.
Faktanya, saya sudah sering mendengar keluh kesah warga di perkampungan yang harus mengeluarkan uang nominal 30 ribu atau 50 ribu per bulan untuk iuran sampah.Â
Lha ini ujug-ujug alias tiba-tiba datang virus laknat yang menyebabkan seseorang harus mengeluarkan minimal 90 ribu rupiah tiap bulannya. Itu baru untuk seorang lho, belum kalau dia punya keluarga, punya anak dan juga istri.
Eh, belakangan di masa PPKM darurat ini muncul pula anjuran pemakaian masker ganda, yaitu masker medis dilapis masker kain. Bahkan bukan sekadar anjuran, karena moda KRL Commuterline yang biasanya dipenuhi oleh penumpang kelas menengah ke bawah, kini mewajibkan penumpangnya untuk memakai masker ganda.
Saya pun yakin jika kalangan tersebut bukanlah kelompok yang tahun lalu berjibaku memburu masker walau harganya selangit. Bukan, tentu saja bukan mereka.
Tapi kan virus corona ini bahaya banget?! Mau sayang uang atau sayang nyawa?
Iya paham, orang-orang itu, yang kelihatannya tidak menaati protokol kesehatan, juga tahu kok. Apalagi beberapa waktu belakangan corona makin mengganas dan banyak memakan korban.
Dan jangan samakan dengan mereka yang punya duit lebih tapi memang sengaja melanggar protokol kesehatan. Beda ya gaes. Kalau itu memang bebal dari sononya.
---
Yuk Berbagi Masker
Memang, kadangkala ada pembagian masker oleh instansi atau lembaga tertentu di jalanan. Biasanya orang yang tidak memakai masker lah yang jadi sasaran pembagian.
Namun, berdasarkan pengamatan di daerah seperti Kabupaten Bogor, Kota Depok, dan sebagian Jakarta, yaitu area-area yang tiap hari kerap saya sambangi, kini tak lagi terlihat ada pembagian masker di jalanan.
Kegiatan seperti itu hanya gencar tahun lalu di awal-awal pandemi. Itupun jika seorang dapat selembar masker, apa efektifnya? Tak juga membuat orang yang benar-benar kesulitan membeli masker sehari-hari, jadi tergugah dan memaksakan diri untuk membelinya.
Donasi bagi-bagi masker teruntuk mereka yang kurang mampu, justru lebih efektif jika dilakukan oleh sesama warga masyarakat. Alangkah mulianya jika warga mampu yang peduli dengan protokol kesehatan, memiliki peran serta menjadikan donasi masker sebagai gerakan yang kontinyu, setidaknya di lingkungan masing-masing.
Caranya cukup sederhana. Misalnya kita menyediakan masker per kemasan isi 5 dan memberikannya minimal 1 atau 2 kemasan kepada mereka yang tiap hari berjibaku di jalanan dan beresiko tinggi terpapar virus corona.
Bisa saja kepada tukang ojek, kurir paket, pedagang keliling, pemulung, tukang tambal ban, dan lain-lainnya. Atau kepada mereka orang yang masih tidak memiliki pekerjaan dan sering terlihat luntang-lantung di sekitar lingkungan kita.
Ah, andai saja demikian.
Mungkin tak lagi ada orang yang terlihat memakai masker dekil atau tidak layak pakai. Semoga.