Mohon tunggu...
Widi Admojo
Widi Admojo Mohon Tunggu... Guru - Widiadmojo adalah seorang guru, tinggal di Kebumen

sedikit berbagi semoga berarti

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kenaikan UMP yang Tak Pernah Sentuh Upah Guru Honorer

7 November 2019   16:04 Diperbarui: 8 November 2019   04:20 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah guru honorer yang tergabung dalam Federasi Guru Honorer (FGH) Jawa Barat menggelar aksi di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat pada Rabu (18/5/2011). |Sumber: Kompas/Rony Ariyanto Nugroho

Pemerintah bermaksud menaikkan standar Upah Minimum Provinsi untuk tahun 2019 sebesar 8,51 persen. Kendati kabar ini barangkali belum lah menggembirakan, akan tetapi setidak-tidaknya pemerintah sudah memikirkan. 

Namun bagaimana dengan nasib upah si"umar bakri" bernama guru honorer? Sudahkah pemerintah memberikan perhatian kepada upah guru honorer yang bekerja di sekolah-sekolah yang ada di sekitar kita?

Pertanyaan itu menjadi penting karena selama ini belumlah selesai perjuangan para guru honorer itu. 

Bahkan untuk sekadar berjuang memperoleh upah yang cukup untuk biaya makan dan transportasi saja masih belum semuanya berhasil dan mendapat perhatian.

Bayangkan saja banyak guru honorer yang dibayar dibawah tiga ratus ribu sebulan, itupun kadang diperoleh dari iuran guru-guru PNS lainnya yang berbelas kasihan karena secara regulasi tertentu mereka ini tidak dapat memperoleh honor yang cukup. 

Perjuangan memanusiakan guru honorer seperti tidak pernah mendapatkan ruang yang cukup sementara upah minimum regional maupun provinsi yang ada hanya mengcover ruang lingkup pekerja non guru.

Guru honorer hanya mengandalkan pada kemurahan hati kebijakan regulasi Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang berubah-ubah.

Itupun belum pernah memberi rasa tenang para guru honorer karena jatah upah yang dapat dicairkan dari dana BOS tidak lebih baik dari honor dan upah yang selama ini diterima.

Lalu siapakah yang bertanggung jawab untuk mensejahterakan guru honorer? Selama ini guru honorer bila diklasifikasikan mendapatkan gaji ataupun upah bekerja mengandalkan dari dana BOS.

Sementara ketentuan honor yang dapat dicairkan dari dana BOS tidak boleh melebihi dari 20 persen dari total pembiayaan pengelolaan pendidikan yang ada di sekolah.

Banyak guru honorer yang terpaksa hanya diam terpaku cukup menerima honor maksimal tiga ratus ribu rupiah, karena alokasi dan pembatasan honor tidak mengijinkan melebihi dari 20 %. 

Honor tersebut bisa menjadi lebih rendah lagi manakala jumlah guru honorer di sekolah berjumlah cukup banyak. Sementara regulasi lain tidak memperkenankan honorarium guru diperoleh dari iuran orangtua wali murid. 

Di pihak lain, skema penanganan guru honorer di negeri ini sepertinya masih semrawut dan tidak komprehensif. Antara regulasi, dan fakta di lapangan, serta kebutuhan guru riil di lapangan tidak saling sinkron dan terkesan saling bersilangan. 

Ada sekolah yang tujuh puluh lima persen kegiatan pembelajarannya dilaksanakan oleh guru honorer karena guru PNS atau guru bantu tidak ada di sekolah tersebut. 

Bertahun-tahun guru honorer berjibaku mengabdi di sekolah karena kebutuhan mengharuskan sekolah memanfaatkan guru honorer untuk menutup kebutuhan guru. 

Tetapi repotnya ketika guru honorer yang sudah bertahun-tahun mengisi kekosongan guru dan berjasa memberikan pengabdian pendidikan, saat pemerintah meluncurkan kebijakan rekrutmen guru. 

Lagi-lagi guru honorer ini seperti terbuang hilang ditelan bumi, karena tidak mendapatkan kesempatan dan ruang untuk mewujudkan mimpi indahnya sebagai guru yang derajatnya naik dari guru honorer menjadi guru PNS.

Regulasi tentang rekrutmen guru PNS rupanya tidak sedikit menyenangkan hati para guru honorer. Kecuali hanya memandang dengan pilu bahwa perjuangannya selama ini tidak mendapat peluang yang cukup untuk mendapatkan kesejahteraan yang meningkat. 

Ketidakpedulian pengambil kebijakan tentang nasib guru honorer inilah yang sampai saat ini menjadi "lembaran pedih" pejuang pahlawan pendidikan bernama guru honorer ini.

Penghargaan guru honorer berikutnya yang bersumber dari bantuan APBD. Lagi-lagi ini juga penghonoran guru tidak tetap ini di masing-masing daerah juga tidak sama. 

Tetapi meskipun tidak sama, sikap pemerintah daerah dalam memberikan penghargaan terhadap guru honorer ini relatif sama, yakni sama-sama memprihatinkan. 

Penetapan honor untuk guru dalam beberapa APBD besarannya biasanya lebih rendah dari profesi lain. 

Honor guru tidak tetap dari pemerintah daerah ini dikenal dengan sebutan "honda" alias honor daerah. Turunnya tiga bulan sekali dan tidak rutin setiap bulan. 

Persoalannya menjadi semakin lengkap, ketika pemerintah dengan regulasinya, melarang sekolah untuk memungut pembiayaan pendidikan yang diambil dari dana masyarakat.

Satu-satunya yang diperbolehkan hanyalah berupa sumbangan sukarela dari masyarakat. 

Karena sifatnya sumbangan sukarela, maka kalau toh guru honorer mendapatkan sebagian dari dana sumbangan masyarakat itupun tidak terlalu cukup. Bahkan kadang tidak stabil karena besaran sumbangan tidak dapat diandalkan keajegannya.

Lalu, kalau guru honorer tidak tercover dalam skema UMP, lalu ke manakah nasib kesejahteraan guru honorer ini akan digantungkan? 

Akankah mereka ini menjadi pejuang pendidikan yang tidak pernah mendapat perhatian dan penghargaan? 

Jawabannya ada pada para pengambil kebijakan yang melihat guru honorer sebagai pejuang pendidikan karakter bangsa, yang memiliki hak untuk hidup bermartabat dan sejahtera. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun