Mohon tunggu...
Bambang Wibiono
Bambang Wibiono Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Selamat Jalan Mamah (8/Selesai)

26 Juni 2020   08:03 Diperbarui: 26 Juni 2020   07:58 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

"Pak, kuburan sudah selesai digali. Kapan mau dikubur pun, siap," tiba-tiba ada yang berkata kepada Papah.

Kami sempat bingung, karena jujur, kami belum sempat memerintahkan orang menyiapkan makam. Tapi Alhamdulillah, segalanya dimudahkan oleh Allah. Seperti semuanya sudah diatur tanpa komando. Bahkan pengumuman di masjid pun sudah diperdengarkan sebelum jenazah datang. Padahal belum sempat pula kami memberitahukan tetangga sekitar. Berhubung hujan deras dan sebentar lagi hari mulai gelap, kami putuskan pemakaman dilakukan esok hari.

Setelah jenazah beres disucikan dan dikafani, kemudian diletakkan di salah satu ruang di sekolah. Kebetulan ada ruang kelas yang tidak dipakai yang bisa dipinjam. Maklum, karena rumah kami sangat sempit. Ruang tamu saja akan habis jika harus diletakkan jenazah di sana. Ku solatkan Mamah di sana. Tepat, setelah selesai, Budi, adik pertamaku datang. Ia duduk mematung dihadapan jenazah Mamah yang saat itu terlihat cantik dan cerah.

Esok harinya, sekolahan tempat bapakku bekerja dibebaskan dari kegiatan belajar. Alhasil, nyaris semua siswa berkumpul siap ikut menyolati dan mengantar. Entah informasi dari mana saja, orang mulai berdatangan. Teman-temanku juga berdatangan. Mulai dari teman SD, SMP, SMA, bahkan rombongan teman kuliah sedang dalam perjalanan ke sini. Sempat ku lihat juga ada orang tua almarhum teman sekolahku ikut hadir, tak tahulah informasi menyebar dengan cara bagaimana sampai pada ke orang-orang ini. Belum lagi ditambah teman sekolah Nok beserta guru-gurunya yang juga turut hadir. Ruang kelas yang cukup luas tempat Mamah terbaring untuk disolatkan tak cukup menampung jamaah, sampai harus dibagi beberapa kloter.

Iring-iringan mobil ambulan yang membawa Mamah ke pemakaman begitu panjang tak terkira macam konvoi saat kampanye partai. Enam angkot yang ku sewa, jelas tak cukup. Seingatku, ada sekitar 8 angkot yang turut mengiring. Tapi diakhir, hanya 2 angkot yang saya bayar. Yang lain menolak dibayar. Ada yang bilang, sudah dibayar. Entah oleh siapa.

Sebagian besar pengiring membawa motor. Nyaris separuh panjang Jalan Wahidin yang kami lewati dikuasai rombongan pengantar. Aku terharu. Padahal kedua orang tuaku bukan orang terkenal, bukan pula pejabat. Bahkan kami bukan orang yang pandai bersosialisasi. Boleh dikata, keluarga kami jarang berinteraksi dengan tetangga sekitar karena memang rumah kami dipisahkan tembok keliling sekolah yang luas. Kurang lebih 250 meter untuk bisa sampai ke rumah tetangga yang terdekat di sebrang jalan sana.

Prosesi pemakaman berlangsung khidmat. Area pemakaman penuh sesak oleh orang-orang yang ingin menyaksikan pemakaman Mamah. Aku berdiri di tepi liang lahat saat Mamah diturunkan ke dalam. Sama sekali tak ada air mata yang menetes, sementara sekelilingku terdengar isak tangis bersahutan. Kuantar Mamah dengan senyuman. Bagiku Mamah tak cukup ditangisi, karena Mamah kembali dengan kemenangan. Segala dosanya telah ditebus dengan segala penderitaan hidupnya. Segala salah khilafnya sudah dibayar dengan sakitnya, dan bekal matinya sudah dibayar dengan tabungan jariyah anak-anaknya.

"Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam golongan hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku"
___
 
Mungkin inilah jawaban kegundahanku beberapa bulan yang lalu, ketika aku tiba-tiba teringat Mamah dan seolah akan pergi jauh. Padahal waktu itu Mamah masih sehat-sehat saja. Mungkin inilah jawaban firasatku tempo hari, yang tiba-tiba aku ingin belajar memandikan jenazah dan kembali membuka buku tata cara solat jenazah yang sudah lama ku lupa.

Sungguh malang nasibmu Mah. Aku merasakan betapa ngantuk dan lelahnya engkau. Aku menangis setiap menyaksikan kondisimu merintih sesak napas dan kesakitan. Tetapi saat itu engkau malah berkata "Mamah gak apa-apa, jangan nangis ah!".

Saat engkau merintih kesakitan, engkau masih sempat mengingat keadaan anak-anakmu. Engkau masih sempat menanyakan keadaan Purnomo, Widia, Nok, Adi saat sedang merasakan kesakitan. Aku ingat, disela-sela rintihanmu menahan sakit engkau berkata

"Purnomo udah pulang belum? udah makan belum?"
"Nanti Purnomo makan pake apa Wib? itu makanan Mamah nanti buat Purnomo saja ya"
"Kamu udah sarapan belum? sana makan dulu nanti kamu sakit"
"Udah lah Wib mijitinnya, nanti kamu capek kalo mijitin lama-lama"
"Adi sudah pulang sekolah belum? Ada yang jemput gak?"
"Nok berangkat sekolah gak? Nanti telat lho. Sudah jam berapa ini?"
"Widia mana? Berangkat sekolah ngaji ga? kalau ujan deras, mending gak usah berangkat dulu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun