Mohon tunggu...
Bambang Wibiono
Bambang Wibiono Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Selamat Jalan Mamah (8/Selesai)

26 Juni 2020   08:03 Diperbarui: 26 Juni 2020   07:58 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sekitar jam 10 pagi Papah datang lagi ke rumah sakit.

"Mah, kenal gak ini siapa?" sambil menunjuk dadanya sendiri.

"Papah, hehe.." Mamah menjawab nyengir.

"Kirain gak kenal," ucap Papah.

Kuceritakan hasil pemeriksaan dokter tadi pagi. Papah meminta pendapatku tentang Mamah. Papah juga meminta pendapat Mamah mau dibawa ke Bandung atau tidak. Tapi Mamah geleng kepala. Mamah minta pulang saja. Aku pun begitu. Ngapain juga dibawa ke Bandung, pikirku. Selain memang benar-benar tidak ada biaya, juga tidak jelas kenapa harus dirujuk jauh-jauh. Mending di rumah atau di sini aja agar bisa dapat infus supaya tidak lemas.

Papah pun kembali ke kantor meminjam mobil untuk bawa pulang Mamah dan meminta pendapat teman-teman kerjanya. Maklum, dalam kondisi kalut seperti ini, perlu meminta pendapat banyak orang karena mereka yang bisa berpikir lebih jernih dan punya berbagai sudut pandang.

Hari itu aku tidak solat Jum'at. Aku lebih memilih berada di samping Mamah. Karena di sini perempuan semua yang tidak mungkin dan tidak mengerti cara merawat Mamah. Terlebih lagi kalau minta kencing atau buang air besar. Aku putuskan untuk tidak solat Jum'at. Semoga Allah mengampuni.

Setelah selesai solat Jum'at dan Papah datang, kondisi Mamah semakin menghawatirkan. Mamah seperti sakaratul maut. Sebelumnya, Mamah memanggil semua nama anak-anaknya. Papah pun akhirnya menelpon Budi, adik pertamaku yang sedang kuliah, untuk segera pulang ke Kota Udang siang itu juga, karena cuma Budi yang tidak ada disini.

Ketika Purnomo, Widia datang, Mamah tidak mengenali. Hampir semua yang ada di situ menangis, mungkin cuma aku yang tidak menangis. Aku hanya senyum memandangi wajah teduhnya yang sedang merintih. Entah kenapa Aku merasa itulah hari terakhir bisa melihat wajah Mamah. Aku bisikan di telinga Mamah bacaan syahadat.

"Mah, Mamah masih dengar suara Wibi kan? Kalo masih dengar, ikuti suara Wibi ya?"

"mmmhh ... Iyaaa," jawab Mamah sambil merintih dan mata terpejam.

"asyhadualaa ... ila ha ilallah ... wa'asyhaduana ... muhammadurosulullah ...." ucapku pelan di telinganya.
 
"awhhh ahh ahhh...ihh aahhh aaahhh...iihh awhhh ahhhh..... mmmmhhh ..." dengan suara yang samar-samar tak jelas, Mamah mengikuti ucapanku. Aku cium keningnya sambil ku bacakan salawat.

"Mah, maafin salah Wibi ya. Wibi belum bisa jadi anak yang baik, belum bisa nyenengin Mamah. Wibi selalu bikin susah mamah dari kecil sampe gede gini. Ampunin Wibi, Mah".

Setelah itu Mamah sekarat tak karuan lagi, selang infus dan selang oksigen pun dilepasnya. Darah dari infus pun berceceran membasahi kain selendangnya. Aku suruh Nok untuk memanggil perawat agar memasangkan kembali infusnya. Saat aku tenangkan, Mamah melihat tangannya yang berlumuran darah.

"ih ini darah ya? tuh berdarah ya ...gak apa-apa laah ...mmhhh ...." kembali meracau tak jelas.

Aku baringkan Mamah seenak mungkin agar tidak terlalu sesak nafas. Aku ganjal kepalanya dengan tumpukan bantal agar posisi kepala agak mengangkat, karena Mamah sudah tidak bisa dibawa duduk. Mulai saat itulah Mamah sakaratul maut. Aku tak henti-hentinya membisikan kalimat tauhid di telinganya. Aku bacakan syahadat, tahlil, istigfar, agar Mamah terus mengingat Allah. Di samping Mamah, Nok pun membacakan yasin.

Selama sakaratul maut aku tak beranjak dari samping mamah dan terus membisikan kalimat Allah ditelinganya.

"Mah, ayo jangan berhenti nyebut Allah. baca syahadat, Mah. Jangan sia-siain akhir hidup Mamah. Kalau susah, cukup sebut Allah ... Allah ... Allah ..."

"Awaaahhh awaahh ... aaahhh, ada setan!!" racau Mamah.

"Ayo Mah, makanya terus sebut Allah. jangan dengerin setan."

"Audzubillahi kalimati minsyarimaa kholaq" kuusap muka Mamah.

Saat kondisi Mamah seperti itu Aku sms ke Uwa Hasan untuk mengabarkan kondisi Mamah. Wak Hasan menyuruh Papah untuk menelponnya. Papah disuruh membacakan doa ke dalam segelas air, dan air itu diminumkan ke Mamah. Katanya doa supaya jalannya dimudahkan.

Selama beberapa jam Mamah sakaratul maut dan hanya ucapan Allah yang terdengar samar dari mulut. Aku bisikan lagi pelan di telinganya.

"Mah, kalau Mamah mau pergi, silahkan. Kita di sini udah ikhlas kok. Silahkan Mamah pergi dengan tenang, apa lagi yang di beratkan Mamah?"

Aku pegang dari kaki hingga kepala Mamah. Hanya tinggal kepala saja yang masih hangat, selebihnya sudah dingin. Aku teringat ucapan Mamah yang ingin pulang setelah bedug, tapi bedug apa? Bedug Duhur sudah lewat dari tadi. Sekarang sudah jam 2 dan hampir Ashar. Aku pun teringat ucapan Papah.

"Mamah tinggal nunggu hari baiknya, mungkin nunggu hari lahirnya, hari Sabtu" begitu kata Papah.

Wah, kalau hari Sabtu masih lama dong pikirku. Masih harus melewati 1 malam lagi. Kasihan Mamah kalau begitu. Tapi kata Papah kalau sudah sore, menurut hitungan Jawa itu sudah dianggap masuk hari Sabtu. Aku langsung berpikir apa mungkin yang dimaksud adalah bedug Ashar?

Tak henti-hentinya aku membisikan Mamah kalimat-kalimat Allah supaya jangan sampai berhenti berucap, meski dalam hati karena mulut sudah sulit untuk mengucapkan secara jelas. Hanya hembusan nafas saja yang bisa keluar diiringi suara menyebut "Allah" secara samar.

Makin lama nafas Mamah semakin melemah. Azan Ashar pun berkumandang disertai mendung. Aku pun berbisik lagi di telinganya, karena sebagian kepala pun mulai dingin.

"Mah ini sudah bedug Mah, bedug Ashar. Kalau Mamah mau pulang, silahkan. Wibi ikhlas, semua yang ada di sini juga ikhlas. Apa yang Mamah beratkan lagi? Pergi yang tenang ya Mah. Maafin semua salah Wibi dan semuanya, kita semua juga udah maafin salah Mamah. Maaf kalo Wibi banyak dosa ke Mamah, Wibi sayang sama Mamah. Setelah ini, Mamah gak akan merasakan sakit lagi. Mamah bisa istirahat. Mamah gak bisa datang wisuda Wibi juga gak apa-apa, yang penting Mamah tenang di sana. Salam buat para malaikat yang jemput mamah, salam juga buat Gusti Allah." kataku lirih di telinga Mamah.

"Yaa ayatuhannafsul mutma'inah irji'i ila robbiki rodiatan mardiyah, fadkhuli fii ibadi fadkhuli jannati. Laa ilaa ha ilallah ... Muhammadurosulullah" bisikku lagi.

Setelah aku berucap itu, tepat ketika sayup-sayup suara azan berhenti, sekitar pukul 15.14 seperti yang terlihat di ponselku, Mamah menarik nafas dalam dan sangat pelan, kemudian menghembuskan nafas terakhirnya disertai dengan turunnya hujan. Semoga ini pertanda baik, karena Mamah pergi di Hari Jum'at dan hujan adalah pertanda rahmat dari Allah. Cukuplah sakit keras, hari Jum'at dan hujan sebagai pertanda akhir yang baik. Insya Allah khusnul khotimah. Alhamdulillah, Mamah sudah pergi dengan tenang dan selamat.

Semua yang menyaksikan itu menangis, tak terkecuali Papah, yang turut meneteskan air mata. Purnomo yang sejak tadi tidak mau lepas dari Nok pun ikut menangis. Tante Neneng, Nok, Adi, Widia, Tante Nani, Mba Erna semuanya nangis. Uwa Sri yang datang terlambat pun sudah menangis duluan sejak di koridor menuju kamar Mamah. Hanya Budi, anak Mamah yang tidak hadir. Budi belum datang, karena masih dalam perjalanan.

Entah mengapa aku tersenyum lega melihat Mamah pergi. Sampai ada yang bilang kenapa aku tidak nangis, malah senyum-senyum? Aku senyum melihat Mamah tak lagi menderita kesakitan, tak lagi menderita menahan kantuk yang amat sangat, tak lagi menderita lelah dan beban pikiran yang bertumpuk tentang dunia. Mamah terbebas dari beban dunia yang fana.

Hari ini Mamah akan bertemu dengan Sang Khaliq pemilik kehidupan. Aku lega dan puas atas semua upaya Papah untuk berjuang menyembuhkan Mamah, walaupun akhirnya Allah berkehendak lain. Setidaknya semua ikhtiar sudah dicoba, semua syariatnya sudah dijalankan, yaitu terus berusaha dan berdoa.

Wajah Mamah teduh dan terlihat cerah. Tidak seperti biasanya. Memang selama sakit, wajahnya aneh. Terkadang terlihat pucat, lesu, tetapi kadang juga terlihat cerah seperti tidak sakit. Air mataku tak keluar sama sekali. Aku kecup kening Mamah sekali lagi.

Tidak seperti biasanya orang meninggal yang tubuhnya cenderung kaku, tubuh Mamah sangat lemas. Tidak sulit untuk menyilangkan kedua tangan di dada. Selamat jalan Mamah, semoga engkau tenang di sana.

Setelah dokter dan perawat memeriksa, dokter memastikan Mamah telah pergi. Aku disuruh Papah untuk mengurus adminstrasi di rumah sakit dan membawa Mamah menggunakan mobil ambulan. Sementara saudara-saudara yang lain pulang duluan bersama Papah dengan menggunakan mobil pinjaman. Aku ditinggal sendirian di RS. Dengan dibantu bapak-bapak dari keluarga pasien kamar sebelah, kugotong Mamah ke ranjang untuk kemudian dibawa ke tempat dimana ambulan menunggu.

Tinggallah aku duduk berdua dengan sopir ambulan.

"Berangkat sekarang Mas? Tidak ada yang ketinggalan?" tanya sopir.

"Berangkat Pak".

Aku memandang jauh ke depan, menembus derasnya hujan seolah memandang Mamah yang sedang berjalan pergi menjauh menerobos lebatnya air yang turun dan melambaikan tangan. Aku pun menghela nafas panjang. Fiuuhhh...

Sesampainya di rumah, hujan masih belum reda. Sempat bingung bagaimana membawa jenazah Mamah dari mobil ke rumah dengan kondisi hujan dan jalan yang sedikit tergenang banjir. Tiba-tiba ku lihat beberapa anak sekolah yang kebetulan belum pulang dan masih bertahan di sekolah segera menghampiri dengan membawa beberapa payung begitu melihat ambulan datang. Tanpa diperintah mereka saling bahu-membahu menggotong Mamah ke dalam rumah dengan sebagian lain memayungi. Aku tidak mengenal mereka.

Sore itu juga jenazah segera disucikan.

"Pak, kuburan sudah selesai digali. Kapan mau dikubur pun, siap," tiba-tiba ada yang berkata kepada Papah.

Kami sempat bingung, karena jujur, kami belum sempat memerintahkan orang menyiapkan makam. Tapi Alhamdulillah, segalanya dimudahkan oleh Allah. Seperti semuanya sudah diatur tanpa komando. Bahkan pengumuman di masjid pun sudah diperdengarkan sebelum jenazah datang. Padahal belum sempat pula kami memberitahukan tetangga sekitar. Berhubung hujan deras dan sebentar lagi hari mulai gelap, kami putuskan pemakaman dilakukan esok hari.

Setelah jenazah beres disucikan dan dikafani, kemudian diletakkan di salah satu ruang di sekolah. Kebetulan ada ruang kelas yang tidak dipakai yang bisa dipinjam. Maklum, karena rumah kami sangat sempit. Ruang tamu saja akan habis jika harus diletakkan jenazah di sana. Ku solatkan Mamah di sana. Tepat, setelah selesai, Budi, adik pertamaku datang. Ia duduk mematung dihadapan jenazah Mamah yang saat itu terlihat cantik dan cerah.

Esok harinya, sekolahan tempat bapakku bekerja dibebaskan dari kegiatan belajar. Alhasil, nyaris semua siswa berkumpul siap ikut menyolati dan mengantar. Entah informasi dari mana saja, orang mulai berdatangan. Teman-temanku juga berdatangan. Mulai dari teman SD, SMP, SMA, bahkan rombongan teman kuliah sedang dalam perjalanan ke sini. Sempat ku lihat juga ada orang tua almarhum teman sekolahku ikut hadir, tak tahulah informasi menyebar dengan cara bagaimana sampai pada ke orang-orang ini. Belum lagi ditambah teman sekolah Nok beserta guru-gurunya yang juga turut hadir. Ruang kelas yang cukup luas tempat Mamah terbaring untuk disolatkan tak cukup menampung jamaah, sampai harus dibagi beberapa kloter.

Iring-iringan mobil ambulan yang membawa Mamah ke pemakaman begitu panjang tak terkira macam konvoi saat kampanye partai. Enam angkot yang ku sewa, jelas tak cukup. Seingatku, ada sekitar 8 angkot yang turut mengiring. Tapi diakhir, hanya 2 angkot yang saya bayar. Yang lain menolak dibayar. Ada yang bilang, sudah dibayar. Entah oleh siapa.

Sebagian besar pengiring membawa motor. Nyaris separuh panjang Jalan Wahidin yang kami lewati dikuasai rombongan pengantar. Aku terharu. Padahal kedua orang tuaku bukan orang terkenal, bukan pula pejabat. Bahkan kami bukan orang yang pandai bersosialisasi. Boleh dikata, keluarga kami jarang berinteraksi dengan tetangga sekitar karena memang rumah kami dipisahkan tembok keliling sekolah yang luas. Kurang lebih 250 meter untuk bisa sampai ke rumah tetangga yang terdekat di sebrang jalan sana.

Prosesi pemakaman berlangsung khidmat. Area pemakaman penuh sesak oleh orang-orang yang ingin menyaksikan pemakaman Mamah. Aku berdiri di tepi liang lahat saat Mamah diturunkan ke dalam. Sama sekali tak ada air mata yang menetes, sementara sekelilingku terdengar isak tangis bersahutan. Kuantar Mamah dengan senyuman. Bagiku Mamah tak cukup ditangisi, karena Mamah kembali dengan kemenangan. Segala dosanya telah ditebus dengan segala penderitaan hidupnya. Segala salah khilafnya sudah dibayar dengan sakitnya, dan bekal matinya sudah dibayar dengan tabungan jariyah anak-anaknya.

"Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam golongan hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku"
___
 
Mungkin inilah jawaban kegundahanku beberapa bulan yang lalu, ketika aku tiba-tiba teringat Mamah dan seolah akan pergi jauh. Padahal waktu itu Mamah masih sehat-sehat saja. Mungkin inilah jawaban firasatku tempo hari, yang tiba-tiba aku ingin belajar memandikan jenazah dan kembali membuka buku tata cara solat jenazah yang sudah lama ku lupa.

Sungguh malang nasibmu Mah. Aku merasakan betapa ngantuk dan lelahnya engkau. Aku menangis setiap menyaksikan kondisimu merintih sesak napas dan kesakitan. Tetapi saat itu engkau malah berkata "Mamah gak apa-apa, jangan nangis ah!".

Saat engkau merintih kesakitan, engkau masih sempat mengingat keadaan anak-anakmu. Engkau masih sempat menanyakan keadaan Purnomo, Widia, Nok, Adi saat sedang merasakan kesakitan. Aku ingat, disela-sela rintihanmu menahan sakit engkau berkata

"Purnomo udah pulang belum? udah makan belum?"
"Nanti Purnomo makan pake apa Wib? itu makanan Mamah nanti buat Purnomo saja ya"
"Kamu udah sarapan belum? sana makan dulu nanti kamu sakit"
"Udah lah Wib mijitinnya, nanti kamu capek kalo mijitin lama-lama"
"Adi sudah pulang sekolah belum? Ada yang jemput gak?"
"Nok berangkat sekolah gak? Nanti telat lho. Sudah jam berapa ini?"
"Widia mana? Berangkat sekolah ngaji ga? kalau ujan deras, mending gak usah berangkat dulu."

Itu kata-katamu disela rintihan sakitnya. Sungguh engkau adalah ibu sejati yang selalu berjuang untuk anak-anakmu. Lelah dan sakit bukan kendala untuk memikirkan nasib anak-anakmu. 

Aku jadi berfikir, apakah selama ini, sebelum-sebelumnya, engkau pernah sakit namun tak pernah engkau rasa hanya demi anak-anakmu? Seumur hidupku, hanya beberapa kali saja melihatmu sakit. Itu pun tak menyurutkan tenagamu untuk terus bekerja mengurus rumah dan anak-anakmu.

Begitu cepat engkau meninggalkan ku, meninggalkan kami semua. Masih banyak hal yang belum sempat dilakukan untukmu. Masih banyak harapanmu yang belum sempat engkau rasakan. 

Mamah belum sempatkan melihatku wisuda, kan?  Menyesal rasanya aku tak bisa wisuda pada  Desember kemarin. Seandainya saja Mamah bisa melihatku wisuda, mungkin akan lain keadaannya. Mamah belum sempat melihat Budi lulus kuliah, kan? Mamah belum sempat melihat Nok lulus SMA, kan? Belum sempat kan mamah melihat Adi, Widia, Purnomo dewasa? Belum sempat kan Mamah melihat anak-anaknya sukses?

Selamat jalan Mamah, meski engkau telah tiada dan jasadmu berkalang jelaga, namun jiwamu ada di hati kami semua. Di hati Papah dan anak-anakmu. Ijinkan kami mengumpulkan amal jariah untukmu.
_

"A, pulang yuk. Sudah sore. Takut keburu hujan, tuh sudah mendung," tiba-tiba suara dan tepukan Nok di pundak mengagetkanku.

"Oh iya, yuk pulang" jawabku. Tak terasa hampir sejam ku berjongkok di sini.

"Mah Wibi, Nok, sama Purnomo pulang dulu ya" ucapku sambil ku taburkan bunga di atas tanah merah itu.

Kami berlalu meninggalkan Mamah sendiri di sana. Oh tidak! Tidak sendiri. Mamah ditemani para malaikat yang setia menjaganya.
___
The End

(Kisah ini dipersembahkan untuk mengenang 8 tahun meninggalnya Mamah. Dan persembahan untuk para ibu di manapun.)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun